Pertahanan Terakhir Perjuangan Kaum Padri Berada Di Tangan

Pertahanan Terakhir Perjuangan Kaum Padri Berada Di Tangan – Perang Padri terjadi di Sumatera Barat pada tahun 1803 hingga 1838. Perang ini berawal dari perselisihan antara sekelompok ulama Islam atau yang disebut dat Padri dan Minang tentang adat keseharian masyarakat dat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Perang antara kedua belah pihak akhirnya tak terelakkan. Saat terdesak, penduduk asli meminta bantuan pemerintah Hindia Belanda. Bukannya membantu, kehadiran Belanda justru memperumit keadaan hingga akhirnya pada tahun 1933 kaum pribumi berbalik arah, bersatu dengan kaum Padri melawan pemerintah Hindia Belanda.

Padri adalah nama sekelompok ulama Islam dari Sumatera Barat. Penduduknya mayoritas suku Minangkabau, dengan sebagian dari Mandailing. Tujuannya untuk melestarikan syariat Islam dalam tatanan sosial masyarakat Sumatera Barat.

Pertahanan Terakhir Perjuangan Kaum Padri Berada Di Tangan

Berarti pendeta dalam bahasa Portugis. Sebagian ulama ini menunaikan ibadah haji di Mekkah, karena ingin menyebarkan ilmu dan ajarannya di kampung halamannya. Menurut buku Endless Disputes: Matriarchy, Religius Reformism and Colonialism in Minangkabau (2010), nama Tuanku merupakan gelar sarjana senior di Sumatera Barat. Para Tuank juga dijuluki Harimau Nan Salapan karena sikap mereka yang keras dalam menghadapi hal-hal biasa yang menyimpang dari ajaran Islam.

Miqot Vol. Xxxviii No. 1 Januari Juni 2014 By Miqot: Jurnal Ilmu Ilmu Keislaman

Islamisasi di tanah Minangkabau tidak serta merta terjadi dan diterima sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Ada yang sulit diterima, kelompok yang mempertahankan adat kuno Minang dan akhirnya disebut suku aborigin. Di sinilah konflik antara dua bersaudara akan muncul.

Berawal dari ketidaktoleranan terhadap adat-istiadat penduduk asli di sekitar Pagaruyung yang oleh Padrios dianggap buruk. Kebiasaan yang dipertanyakan seperti perjudian, sabung ayam, penggunaan narkoba atau candu, mabuk, merokok berlebihan, dll. Kaum Padria juga menentang hukum adat matriarkal dalam hal pewarisan, rumah tangga, dan administrasi.

Merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, Hadji Miskin, seorang tokoh penting di padria, melarang warga mengadakan sabung ayam atau acara adu ayam dan berjudi dengan ayam. Suatu malam dia bahkan berani membakar tempat yang sering digunakan untuk sabung ayam, dan ini jelas menimbulkan kemarahan besar di kalangan penduduk asli.

Baca juga  Al Khulafaur Ar Rasyidin Artinya

Cara tersebut dianggap berlebihan dan terlarang bagi penduduk asli. Haji Miskin kemudian dianiaya dan berhasil kabur dari kejaran.

Sejarah Perjuangan Tuanku Imam Bonjol Dalam Mengadapi Penjajahan Belanda

Nah, aula yang terbakar ini semakin memanaskan konflik. Kedua klan dengan keras kepala berdebat di sisi lain. Di pihak Padri, Haji Miskin didampingi delapan tuanku lainnya seperti Tuanku Biaro, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Luar, Tuanku Berapi, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Galung, Tuanku Padang Lawas dan Tuanku Kapau.

Sejak proses Islamisasi Minangkabau, banyak penduduk asli yang memeluk Islam, tetapi tidak ada kesepakatan untuk meninggalkan adat mereka. Konflik yang semakin intens akhirnya meledak pada tahun 1803 dalam perjalanan perang. Selama pertempuran, kaum Padria ingin membuat penduduk asli memeluk ajaran Islam murni dan meninggalkan adat istiadat mereka.

Sekali lagi, ini tidak berhasil karena kedua belah pihak merasa sama benarnya. Satu pihak menginginkan Islam murni atau Puritanisme, dan pihak lain menginginkan adat-istiadat yang luhur. Perang saudara campuran suku Minang dan Mandailing berlanjut hingga tahun 1833. Kubu Paderi dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sedangkan kubu Adat dipimpin oleh sultannya, Arifin Muningsyah.

Antara tahun 1803 dan 1821, bentrokan antara kaum reformis Padri dan kekuatan tradisionalis pribumi menjamur di berbagai daerah di Sumatera Barat. Para padria menghasut semangat jihad atau perang di jalan Tuhan melawan penduduk asli untuk membakar rumah desa mereka.

Kisi Kisi Sejarah

Pada tahun 1815, karena Kesultanan Pagaruyung terdiam, kaum Padri mulai memasuki pekarangan istana. Penyerangan Pagaruyung dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Kota Tangah menjadi puncak pertempuran antara kedua klan. Akibat kesalahpahaman antara kedua bangsa tersebut, orang-orang yang tidak bersalah baik dari Kesultanan Pagaruyung maupun penduduk biasa kerajaan meninggal dunia.

Kaum Padri berhasil menyerang istana Minangkabau kuno yang tinggal puing-puing. Pembantaian ini dilakukan karena merupakan pusat budaya Melayu dan Minangkabau mereka. Kekalahan dirasakan oleh penduduk asli dan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa mengungsi.

Catatan sejarah Thomas Stamford Raffles menceritakan peristiwa tragis ketika istana itu direduksi menjadi reruntuhan yang tersisa. Selama kunjungannya ke Pagaruyung, Raffles menyaksikan reruntuhan istananya yang terbakar, yang menurutnya mengerikan.

Pada tanggal 21 Februari 1821, kaum pribumi karena mulai kalah terpaksa meminta bantuan Belanda. Langkah ini dinilai kurang tepat, karena dianggap Belanda tidak berhak membantu. Celakanya, Belanda yang oportunistik melihat kesempatan ini dan baru kemudian mempersulit keadaan pribumi.

Bab 1 Perkembangan Kolonialisme Bangsa Barat Pasca Voc

Tanpa otoritas dan izin dari Kesultanan, penduduk asli mengundang Belanda untuk membantu mereka melawan kaum Padri. Keduanya setuju dan Belanda kemudian mengerahkan tentara di perbukitan dan pelosok Sumatera Barat untuk menghentikan pasukan gerilya Padri. Inti dari kesepakatan yang mereka buat adalah bahwa mereka siap menyerahkan kekuasaan Pagaruyung kepada Belanda dengan bantuan pribumi. Hal ini tak terhindarkan terjadi dan Belanda menugaskan Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai pejabat Belanda di Tanah Datar.

Baca juga  Ceritakan Fenomena Alam Angin Muson Di Indonesia

Selain itu, Belanda berhasil memindahkan tentara Padri dari Pagaruyung di bawah komando seorang letnan kolonel bernama Raaff. Ia mengungsi ke Padri Lintau dan mulai memikirkan kembali strateginya. Sedangkan Belanda membangun benteng pertahanan bernama Tuanku Padang Lawas di Batusangakar. Kaum Padri terus menghajar tentara Belanda dengan semangat gigih.

Tentara Belanda yang kuat dan bersenjata lengkap tidak dapat ditahan oleh tentara Padri sampai mereka mencapai Luhak Agamba. Namun, selama Pertempuran Basso, kaum Padri berhasil melukai Kapten Goffinet dan kemudian dibunuh pada tanggal 5 September 1922.

Menjelang September 1822 kaum Padri pimpinan Tuanku Nan Renceh berhasil membuat tentara Belanda kembali ke Batusangkar. Pada bulan April tahun berikutnya, Belanda mencoba menyerang Lintau, namun gagal lagi karena kegigihan para pejuang rakyat.

Sejarah Peradaban Islam_dr. H. Anwar Sewang Ma

Sedangkan pada bulan September 1824, Belanda yang dipimpin oleh Mayor Frans Laemlin berhasil menguasai beberapa daerah di Luhak Agam, Birao dan Kapau. Mayor meninggal karena luka pertempurannya pada akhir tahun 1824. Belanda juga kehilangan Raaff karena demam tinggi yang tiba-tiba.

Namun sayangnya masyarakat Minangkabau juga harus kehilangan pejabat-pejabat utamanya, raja Minangkabau yang terakhir meninggal pada tahun 1825 dan dimakamkan di Pagaruyung. Pertarungan pasang surut dengan Padri menyebabkan Belanda kehilangan perwira militer dan kehabisan dana militer. Namun Belanda tidak melancarkan serangan lagi, melainkan memperkuat pertahanan benteng-benteng yang ada.

Perang Padri dengan Belanda disebut belum selesai, hanya tertunda karena Belanda merasa mengalami kemunduran. Kemudian, selama berada di Padang, Belanda mencoba menggunakan cara-cara damai dengan kaum Padri yang ditawan oleh Imam Tuanku de Bonjol. Notifikasi Perjanjian Masang dikeluarkan sebagai hasil dari perundingan damai. Pengaturan ini sangat menguntungkan pihak Belanda, karena pemerintah Hindia Belanda kehabisan dana untuk perang di Eropa dan perang Diponegoro di Jawa.

Ternyata, momen damai ini tidak berjalan baik dengan penduduk asli. Penduduk asli, frustrasi dan masih tidak mencintai saudara-saudaranya, mulai memisahkan diri dari Belanda. Belanda tampaknya sedang berkutat dengan Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Masa damai kaum Padri dengan Belanda cukup singkat akibat ulah residen Mac Gillavry dan pimpinan militer De Richemont yang tidak berdamai.

Baca juga  Banjarnegara Tulungagung Dan Trenggalek Merupakan Daerah Penghasil

Data Dan Informasi Tentang Pahlawan Nasional

Di masa kritis seperti sekarang ini, Imam Tuanku Bonjol berusaha merangkul saudaranya, yakni kaum pribumi. Akhirnya tercapai kesepakatan di antara mereka sebagai prasasti Puncak Pato di Bukit Marapalam di Tanah Datar. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “

Setelah menaklukkan Diponegoro dan mengakhiri Perang Jawa, Belanda mengalihkan perhatiannya kembali ke kaum Padri dan Ada. Mereka tergoda untuk menginspeksi perkebunan kopi di Sumatera Barat. Penduduk asli melihat gerakan tersembunyi mereka dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan kaum padri dalam melawan Belanda, sehingga sejak tahun 1833 adat dan kaum padri bersatu.

Kekuatan koalisi ini tampaknya kurang kuat untuk mengusir penjajah dari darat. Mereka berkurang sedikit demi sedikit. Tuanku Imam Bonjol berusaha menyatukan pasukannya yang terpecah belah. Tampaknya perang 10 tahun telah melemahkan keinginan rakyat untuk berperang, sehingga hanya sedikit orang yang masih mau berperang.

Di atas adalah peta wilayah Sumatera Barat yang coba dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Pasukan tempur rakyat dipusatkan di Sumatera Barat bagian utara, seperti Kabupaten Tanah Datar dan Lintau.

Contoh Soal Sejarah Indonesia Xi Semester 1

Belanda akhirnya memiliki strategi untuk menguasai benteng Bonjol, Belanda kembali ke Bonjol dan mengepung benteng tersebut. Pada Agustus 1837, Imam Bonjol Tuanku kembali diundang untuk merundingkan perdamaian dan dia setuju. Sekali lagi, jalan damai tidak dapat diambil, dan berakhir dengan perang lagi pada bulan itu.

Baru beberapa hari berperang, benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Karena jumlah dan kecanggihan senjata, Padri memaksanya untuk menyerah. Warga Padang yang sudah membaca situasi itu mengirimkan surat penawaran untuk berunding.

Imam Tuanku Bonjol melihat keadaan pasukannya dan memutuskan lebih baik berunding. Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol tiba di tempat pertemuan tanpa senjata atau tentara. Sayangnya, itu jebakan dan Tuanku Imam Bonjol ditangkap tanpa perlawanan.

Tuanku Imam Bonjol yang sakit dibawa ke Bukittinggi kemudian ke Padang. Imam Bonjol pertama kali diasingkan ke Cianjur di Jawa Barat. Kemudian pada Januari 1839 imam Bonjol diasingkan ke Ambon, Maluku. Dekat Manado, Sulawesi Utara, 1841. Manado adalah tempat terakhir hidupnya hingga 6 November 1864.

Pertahanan Terakhir Perjuangan Kaum Padri Berada Di Tangan

Meski begitu, Perang Padri belum usai. Perang berlanjut hingga benteng terakhir kaum Padri di Dalu-Dalu jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1838, beserta pemimpinnya, Tuanku Tambusai. Juga, Kesultanan Pagaruyung memutuskan untuk menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda dan perang dimenangkan oleh Belanda.

Setelah perang berakhir dan Belanda menang, Perang Padri membawa dampak negatif dan positif. Berikut dampak negatif Perang Padri:

Oke, es, itu cerita perangnya

Kisah perjuangan kaum muhajirin dan ansar, perjuangan kaum muhajirin dan kaum anshar, perlawanan kaum padri, kaum padri, perjuangan kaum muhajirin