Nilai Positif Dari Kasus Pengungsi

Nilai Positif Dari Kasus Pengungsi – Mulai bermunculan di beberapa negara Arab atau Timur Tengah pada akhir tahun 2010. Gerakan ini berupaya menggulingkan pemimpin atau pemerintahan yang dianggap diktator. Dimana negara-negara di Timur Tengah telah bertransformasi dari sistem kekuasaan diktator menjadi sistem kekuasaan rakyat (demokrasi). Gerakan ini berhasil menggulingkan beberapa rezim pemerintahan yaitu Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan Bahrain. Namun, beberapa gerakan tersebut berubah menjadi revolusi bersenjata dan menimbulkan banyak korban jiwa. Contohnya adalah penggulingan rezim pemerintahan di Libya. Lebih dari 50.000 korban tercatat meninggal dunia. Setelah itu, sekitar 70.000 orang meninggal di Suriah hingga Juni 2013 [1].

Konflik Suriah disebabkan oleh pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Suriah, yang diawali dengan protes rakyat Suriah yang menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad. Berawal dari slogan anti pemerintah di dinding sebuah sekolah di kota kecil bernama Daraa, ada sekitar 15 anak laki-laki berusia 10-15 tahun yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah karena slogan anti pemerintah yang mereka buat. Slogannya adalah “Rakyat ingin rezim tumbang!”. Ke-15 anak ini tidak hanya ditahan tetapi juga mengalami perlakuan tidak pantas seperti penyiksaan. Hal ini kemudian mendorong masyarakat turun ke jalan dan melakukan protes menuntut pembebasan 15 anak tersebut. Aksi protes yang terjadi pada bulan Maret 2011 tidak hanya terjadi di Deraa, namun juga di beberapa kota kecil lainnya seperti Damaskus [2]. Namun, hal ini berujung pada kerusuhan yang berakhir dengan kematian ketika tentara Suriah menembaki para pengunjuk rasa.

Nilai Positif Dari Kasus Pengungsi

Akibat konflik tersebut timbul beberapa permasalahan, salah satunya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Dengan cara ini banyak warga sipil yang terbunuh, mereka juga kehilangan keluarga dan tempat tinggalnya, sehingga mereka harus meninggalkan negaranya karena merasa tidak aman. Oleh karena itu, mereka meninggalkan negaranya dan pergi ke negara lain untuk mencari perlindungan atau suaka (tempat perlindungan). Mereka tersebar luas di banyak negara, dari negara-negara Arab hingga Eropa. Konflik di Suriah sejak tahun 2011 telah memakan banyak korban jiwa. Situasi ini memaksa warga Suriah mencari perlindungan ke negara lain dengan cara melarikan diri. Menurut data Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 5.607.286 orang yang meninggalkan Suriah pada 13 Maret 2018 [3].

Baca juga  Terangna Patang Bab Kang Kalebu Paugerane Maca Geguritan Kang Becik

Pemerintah Kabupaten Puncak Mobilisasi Sembako Untuk Warga Pengungsi Di Sinak

Warga Suriah mengungsi ke banyak negara, termasuk negara-negara Arab dan Eropa. Sebelumnya, banyak pengungsi di Suriah yang mengungsi ke negara-negara Arab. Namun, kondisi evakuasi di negara-negara Arab tersebut semakin sulit. Karena ada pembatasan visa yang menyulitkan pengungsi Suriah untuk masuk ke negara Arab ini [4]. Oleh karena itu, para pengungsi Suriah mencari negara lain yang dapat memberikan perlindungan kepada mereka, yaitu negara-negara Eropa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pengungsi Suriah mencari suaka di Eropa, yaitu kondisi di kamp pengungsi Suriah di negara-negara Arab yang sangat memprihatinkan, kurangnya makanan dan minuman, serta syarat untuk mendapatkan suaka di negara-negara Arab di Teluk Persia yang lebih ketat dibandingkan di negara-negara Arab. orang Eropa. negara. dan lebih mudah bagi pengungsi Suriah untuk pergi ke Eropa dibandingkan ke Teluk Arab, karena untuk menuju Arab Saudi mereka harus melalui negara konflik lainnya (Lebanon dan Irak), sedangkan jika ke Eropa mereka hanya perlu melewati negara konflik. laut akan terjadi tujuan [5].

UNHCR melaporkan sekitar 366.000 migran telah menyeberangi Laut Mediterania menuju Eropa. Kebanyakan imigran memilih Jerman sebagai negara yang aman untuk ditinggali. Sebab Jerman punya tiga pilar penting, yakni demokrasi yang kuat, sejarah panjang menyambut imigran, dan stabilitas ekonomi. Selain itu, warga Jerman menyambut imigran dengan tangan terbuka[6]. Pada tahun 2015, ribuan migran membanjiri sejumlah negara di Eropa dengan keberatan, sehingga mendorong beberapa negara Eropa yang dikunjungi migran menyerukan rencana penyelesaian masalah imigrasi yang ada. Menteri Luar Negeri Paolo Gentiloni, Frank-Walter Steinmeier dari Jerman dan Laurent Fabius dari Perancis mengusulkan peninjauan kembali suaka dan distribusi pengungsi yang lebih adil di Uni Eropa[7]. Dalam hal ini, negara-negara Eropa kini dirasa tidak mampu menampung ribuan imigran, baik dari Suriah maupun negara lain. Selain itu, beberapa negara Eropa menolak pengungsi masuk ke wilayahnya karena beberapa faktor, terutama ketidakmampuan memikul beban ekonomi tambahan, krisis pengangguran di beberapa negara, meningkatnya beban jaminan sosial bagi para pensiunan, kehadiran pengungsi dapat mengganggu politik. . dan stabilitas sosial budaya, serta ada juga alasan rasis, seperti Slovakia yang hanya mau menerima pengungsi Kristen. Beberapa pengungsi berpindah agama untuk membuat hidup mereka lebih mudah di negara-negara Eropa [8].

Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan metode atau perspektif IR, khususnya post-positivis. Perspektif post-positivis mencakup pendekatan-pendekatan dalam teori hubungan internasional, khususnya teori kritis, postmodernisme, konstruktivisme, rasionalisme, dan feminisme. Walaupun terdapat perbedaan diantara pendekatan-pendekatan tersebut, namun mempunyai tujuan yang sama, yaitu menolak asumsi-asumsi mendasar positivisme.

Baca juga  Kelompok Bahan Keras Alami Untuk Membuat Kerajinan Ditunjukkan Oleh Nomor

Tidak dapat dipelajari dengan metode yang sama. Post-positivisme adalah gerakan yang berupaya memperbaiki kelemahan cara pandang positivis. Menurut kaum post-positivis, mustahil orang memperoleh kebenaran dari kenyataan jika peneliti menjauhkan diri dari kenyataan tersebut. Dengan kata lain, peneliti tidak terlibat langsung dalam kenyataan tersebut. Hubungan keduanya harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip

Pdf) Faktor Domestik Penolakan Italia Terhadap Pengungsi Dari Afrika Utara Tahun 2015 2019

Yang meyakini bahwa realitas itu sebenarnya ada menurut hukum alam, namun mustahil bila realitas itu dapat dilihat oleh manusia (peneliti). Secara metodologis, pendekatan eksperimental melalui observasi saja tidak cukup, namun harus digunakan metode

, tidak ada satupun teori yang dapat dijelaskan dengan bukti empiris, bukti empiris mempunyai kemampuan untuk menunjukkan fakta yang tidak normal.

Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Dimana hasil penelitian bukanlah laporan yang obyektif, melainkan hasil interaksi manusia dengan alam semesta yang penuh permasalahan dan terus berubah.

Fokus perspektif ini adalah tindakan atau tindakan manusia sebagai ekspresi keputusan [10]. Selain itu, ada

Isak Tangis Usai Menonton Film

Jika kasus imigran Suriah di Eropa dilihat dari sudut pandang post-positivis, maka para post-positivis melihat kasus ini secara relatif dan mempunyai sudut pandang yang berbeda. mengapa demikian? Sebab jalan pemikiran para post-positivis berbeda-beda. Mereka mengeksplorasi dan melihat filosofinya (

). Jika dilihat dari sudut pandang filosofis, orang dengan sudut pandang ini akan mengkaji asal muasal imigran Suriah tersebut. Bagaimana para imigran ini bisa sampai ke Eropa? Mengapa imigran Suriah memilih Eropa? dll. Kemudian mereka mencari solusinya dengan menggunakan beberapa metode. Filosofis (

), masyarakat yang hidup saling membutuhkan satu sama lain, sehingga imigran Suriah membutuhkan orang lain dari negara lain (tidak sedang berkonflik) untuk membantu mereka, memberi mereka perlindungan, memberi mereka makanan, memberi mereka suaka.

) bisa dijelaskan dengan mencari perlindungan di berbagai negara, jika mendapat suaka, misalnya Jerman yang ingin menerima imigran, artinya imigran Suriah harus bekerja untuk mereka, mengabdi pada Jerman, dan tidak hanya menjadi parasit. Langkah terakhir adalah tindakan (

Peduli Semeru Masjid Di Lampung Ikut Bantu Galang Donasi

) Para imigran ini membantu Jerman atau negara-negara pendudukan lainnya, mereka mendapat suaka, sehingga para imigran Suriah juga mendapatkan makanan dan keamanan. Pandangan ini juga disorot

Dari pengalaman. Lalu mengapa hanya Jerman yang menerima lebih banyak imigran dibandingkan negara-negara Eropa lainnya? Karena Jerman telah melihat dari pengalaman bahwa hal itu mempunyai konsekuensi yang baik bagi negaranya.

Baca juga  Deskripsikan Kegiatan Ekonomi Yang Terdapat Pada Gambar Tersebut

Tingginya angka penolakan ini disebabkan dampak negatif krisis pengungsi yang dialami negara-negara di Eropa di berbagai kawasan. Misalnya saja di bidang ekonomi, Yunani mengalami keterpurukan ekonomi setelah terus menerima imigran. Yunani merupakan negara yang paling banyak menampung imigran dan Yunani harus menanggung semua kebutuhan imigran di negara ini. Hingga saatnya tiba, pemerintah Yunani merasa kewalahan dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan para imigran tersebut [11]. Selain Yunani, ada juga Inggris yang langsung menolak kebijakan penerimaan imigran asal Eropa. Artinya, Inggris harus keluar dari Uni Eropa yang kemudian dikenal dengan Brexit. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa salah satunya disebabkan oleh kebijakan penerimaan imigrasi.

Selain dampak negatif imigran terhadap negara-negara di Eropa, imigran juga memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan negara-negara Eropa, khususnya negara-negara yang menyediakan tempat (suaka) bagi para imigran. Faktanya, negara-negara yang menampung imigran dapat meningkatkan tingkat lapangan kerja dan pendapatan pajak. Jerman adalah salah satu negara di Eropa yang memberikan lebih banyak suaka, seperti yang dipelajari Jerman di masa lalu, ketika terjadi migrasi besar-besaran pada tahun 1950an. Jerman saat itu mampu memperkuat perekonomiannya dengan memberdayakan para pengungsi tersebut [12]. Dilihat dari perspektif post-positivis, perspektif ini akan berasumsi bahwa pengalaman adalah pengalaman

Gabungan Propesi Tenaga Kesehatan Sekadau, Gelar Aksi Peduli Bencana Banjir, Ini Sasarannya

, perspektif ini benar-benar mendorong kedua belah pihak. Kaum post-positivis melihat imigran Suriah berbondong-bondong mencari suaka untuk mendapatkan perlindungan di negara-negara Timur Tengah dan Eropa, melihatnya dari dua sisi.

Yang dirilis dan memberi mereka tempat di Eropa seperti Jerman. Kesimpulannya, masuk akal untuk memahami kasus imigran Suriah di Eropa dari perspektif post-positivis.

Karena setiap kali ada yang sama (misalnya: dua orang memikirkan kasus imigran ini), kalaupun kasusnya sama, penyampaiannya pasti ada perbedaannya. Penganut post-positivis melihat peristiwa yang ada berdasarkan interpretasi. Jika ada dua masyarakat yang berbeda dan mempunyai penafsiran yang berbeda, maka lahirlah

[2] Masni Handayani Kinsal, “Penyelesaian konflik internal di Suriah berdasarkan hukum internasional”, Lex et Societatis, vol. II Edisi 3 April 2014, halaman 104.

Soal Pas Ips Kelas 8 Semester 1 Lengkap Dengan Jawaban, Yuk Belajar!

[4] Beritagar.id, Mengapa pengungsi Suriah memilih Eropa?, https://beritagar.id/article/berita/mengapa-pengungsi-suriah-select-eropa, diakses 18 Maret 2018 pukul 02.03 WIB.

[5] Republika.co.id, Mengapa pengungsi Muslim dari Timor Tengah lebih memilih Eropa?, http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/09/14/nunms4319-mengapa-pengungsimuslim -timteng – pilih-pilih-Eropa, diakses 18 Maret 2018 pukul 12.10 WIB.

[6] CNN Indonesia.com, Mengapa imigran ke Eropa, bukan ke Timur Tengah? https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150908131728-134-77324/why-immigrants-to-europe-not-ke-timur-middle, diakses 18 Maret 2018 pukul 12:52 WIB.

[7] Tribunnews.com, Ribuan Imigran Tiba, Eropa Hadapi Krisis Pengungsi, http://www.tribunnews.com/international/2015/09/03/ribuan-immigran-tiba-eropa-hadapi-krisis- pengungsi, akses . 18 Maret 2018 pukul 14:26 WIB.

Student Bahasa Indonesia Exercise

[8] Republika.co.id,

Kasus pengungsi rohingya