Mengapa Anak Lebih Patuh Pada Peraturan Guru Di Sekolah

Mengapa Anak Lebih Patuh Pada Peraturan Guru Di Sekolah – Guru adalah lambang pembelajaran reflektif, sedangkan siswa adalah aset untuk kemajuan masa depan. Jika keduanya tidak bisa dipanggil, negara sedang menunggu kematiannya.”

Demikian saya melihat pentingnya guru dan nilai siswa yang selama ini kita “anggap” sebagai generasi penerus bangsa. Memang, tantangan kemajuan bangsa ini sudah lama dipercayakan kepada dunia pendidikan. Tentu saja, seperti yang sudah diketahui dan diharapkan semua orang, bangsa ini akan makmur di tangan para guru dan orang-orang terpelajar.

Mengapa Anak Lebih Patuh Pada Peraturan Guru Di Sekolah

Kita tidak harus meninggalkan harapan itu sebagai mimpi belaka. Melalui dunia pendidikan dan tangan-tangan “mujur” para guru, kami berharap mampu membangun generasi penerus yang kompeten demi bangsa yang bermartabat. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diatur dalam UU. TIDAK. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, agar generasi penerus menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, sehat, arif, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab.

Anak Tk Dari Gugus Abimanyu Di Datangi Satlantas Polres Rembang, Ada Apa..???

Semua ini untuk kebaikan bangsa dan tidak lain hanyalah untuk menggerakkan negara ini ke arah yang lebih baik. Kami sangat yakin jika pendidikan di negeri ini maju, yakinlah bahwa semua sektor di negeri ini juga akan maju. Sebaliknya, jika pendidikan di negeri ini “korupsi”, jangan pernah bermimpi bahwa tanah air ini akan menjadi mengagumkan. Nah, negara ini memiliki kondisi pendidikan yang kuat.

Namun, apakah impian puluhan tahun ini menjadi kenyataan? Tentu jawabannya belum. Masih banyak persoalan terkait pendidikan di negeri ini yang perlu dibenahi. Bukan lagi tentang mata pelajaran yang diajarkan, tetapi tentang guru (pengajar) dan siswa (siswa). Tanpa keduanya, tentunya semenarik apapun materi dan strategi pengajarannya, tujuan pendidikan menjadi sia-sia.

Isu pendidikan di negeri ini akhir-akhir ini menjadi perbincangan. Kita bisa melihat berbagai media massa baik cetak maupun elektronik hampir setiap minggunya membahas berbagai isu terkait pendidikan di negeri ini. Bukan hanya soal kualitas dan kelulusan ujian nasional (UN), tapi juga soal disiplin, wibawa, sikap, dan kualitas guru.

Kita tidak akan pernah melupakan berbagai kasus yang menodai dunia pendidikan di negeri ini. Baik kekerasan yang dilakukan oknum guru maupun pemberontakan siswa terhadap guru. Salah satu kasus yang mencoreng wibawa guru, seperti dilansir www.detik.com, adalah lima siswa kelas enam di kompleks SDN Durenseribu Arco Sawangan di Depok, yang mengalami luka memar di kaki setelah ditendang oleh satu guru saja. karena terlambat.

Baca juga  Dalam Menggunakan Harta Bertujuan

Pengertian Tata Tertib

Diyakini bahwa sebagai seorang guru, seorang guru mencontohkan sikap yang baik, sehingga patut dipuji dan diteladani. Memang menjadi tugas guru untuk menegur, menasehati dan mengawasi kedisiplinan siswa di sekolah. Sebaliknya, seorang guru juga dianggap salah jika tidak menegur siswa yang melanggar peraturan atau melakukan kesalahan. Namun jika ada siswa yang melakukan kesalahan, alangkah baiknya diingatkan dan diberikan hukuman yang setimpal. Lagi pula, itu hanya masalah “biasa”, karena terlambat, siswa terluka.

Tidak selayaknya seorang guru memperlihatkan kesombongan kepada murid yang seharusnya dididik dengan baik. Tetapi juga tidak etis bagi siswa untuk menyerang atau memfitnah gurunya yang menegakkan tata tertib di sekolah, kecuali hukuman yang diberikan melebihi batas kewajaran. Selain itu, menurut informasi di www.detik.com pada Agustus 2015, seorang guru biologi bernama Nurmayani dipenjarakan di SMPN 1 Banteng, Sulawesi Selatan hanya karena mencubit seorang siswa.

Sebelumnya, pada 2012, www.detik.com mengabarkan bahwa Aop Saopudin, guru besar kehormatan dari SDN Penjalin Kidul V Majalengka, Jawa Barat, menghadapi hukum karena mencukur rambut muridnya, dan juga mencukur rambut guru besar itu. Orang tua siswanya. Pada Agustus 2016 yang lebih menghebohkan lagi, menurut informasi dari www.kompas.com, seorang guru besar arsitektur bernama Dasrul dari SMKN 2 Makassar dilumuri darah dan dipukuli oleh Adnan Achmad. Kalaupun soalnya sangat “ringan”, itu hanya karena siswa tidak terima ditegur saat tidak mengerjakan PR.

Kasus seperti itu semakin sering terjadi. Para guru sebagai pengajar sudah mulai kehilangan wibawanya seiring dengan kesombongannya, dan para siswa juga sudah kehilangan akhlaknya karena begitu manja dan malas. Guru tidak lagi mencerminkan sikap guru, dan siswa juga mulai mengembangkan sikap tidak terdidik. Seorang guru harus menjaga disiplin, tetapi menggunakannya dengan kehalusan dan hati. Karena jika Anda mengajar dari hati, Anda akan diterima dengan baik dari hati.

Miris, Masih Ada Guru Tidak Patuh Prokes Covid 19, Siap Siap Kena Sanksi

Tentu tidak layak menjadi guru yang bijaksana, tetapi mengajar tanpa kebijaksanaan. Di sisi lain, siswa sebagai generasi terpelajar juga harus bisa bersikap dewasa, mengikuti aturan dan mengakui kesalahannya. Bukan karena ditegur, para guru yang mengajari kami membaca dan menulis dipukuli, dikepung dan dihina. Memang sikap seperti ini sangat jauh dari konsep dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang diharapkan oleh bangsa dan negara kita tercinta ini.

Dewasa ini, kita harus menerima bahwa perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat dihindari lagi. Padahal, jika kita menjauhi kebisingan globalisasi, teknologi akan dianggap kuno dan jahil. Oleh karena itu, suka atau tidak suka, setiap orang harus berani berenang dalam arus perkembangan teknologi. Begitu pula dalam dunia pendidikan, infrastruktur, guru (pengajar), siswa (pelajar) juga menjadi korban teknologi, terutama di perkotaan.

Baca juga  Melempar Bola Adalah Gerak Dalam Senam Irama Menggunakan

Perkembangan teknologi benar-benar menghadirkan pedang bermata dua. Guru dan siswa harus pandai-pandai memecahkannya. Akses teknologi informasi tercanggih di dunia pendidikan, seperti di sekolah misalnya, dapat dimanfaatkan agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan efisien. Misalnya, memiliki komputer atau jaringan internet di sekolah dapat mempercepat akses belajar. Selain itu, juga menyangkut pemenuhan kebutuhan sekolah dalam hal berbagai informasi pendidikan baik untuk guru maupun siswa.

Namun di sisi lain karena perkembangan teknologi juga berdampak negatif bagi guru dan siswa. Apalagi sekarang hampir semua orang termasuk guru memiliki smartphone di tangan untuk membantu. Semua akses bisa didapatkan dengan cepat dan mudah, karena smartphone bukan lagi barang mewah bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian orang. Nah, kehadiran smartphone tersebut membuat para guru kehilangan pendekatan sebagai guru.

Gelar Operasi Patuh, Polisi Di Banyuwangi Tilang 576 Pengendara Nakal

Kita tidak perlu munafik, lihat saja bukti di berbagai media sosial baik itu Facebook, Twitter dan Instagram yang menjadi tempat sensasional bagi sebagian orang termasuk para guru, narasumber. Eksistensi diri dalam dunia sosial semakin memprihatinkan masyarakat saat ini dan telah menjangkiti guru. Sebenarnya tidak ada salahnya eksis di jejaring sosial, bahkan dianggap biasa saja jika selalu digunakan dengan baik.

Namun, ada beberapa guru, bahkan dosen, yang semakin banyak menggunakan jejaring sosial, bahkan bisa dikatakan sedang mencari sensasi. Alhasil, gelar akademik yang selama ini disandangnya menjadi semakin absurd bagi publik. Betapa tidak, banyak guru bahkan dosen yang lebih aktif menggunakan media sosial daripada siswa atau mahasiswa. Tampaknya guru membutuhkan lebih banyak perhatian daripada siswa. Biasanya, penulis adalah guru atau dosen.

Berbagai status diperbarui dan berbagai bentuk foto diunggah dengan harapan mendapat like atau komentar dari pengguna media sosial. Beberapa orang juga mengunggah informasi yang tidak penting, misalnya tentang keluarga, rumah, pertemanan, pekerjaan, berupa kekaguman, keluhan atau kritik. Padahal, informasi semacam itu, terutama informasi pribadi, harus dibatasi atau dirahasiakan. Di sisi lain, banyak guru yang menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berdiskusi.

Kita bisa lihat beritanya di www.tribunnewsbogor.com, semua heboh dengan seorang guru SD bernama Popi Indrawati Safitri yang sangat aktif di media sosial. Semua kegiatan sekolah diunggah di media sosial. Bahasa yang digunakan jauh dari sikap guru, agak berlebihan, dan terlepas seperti orang dewasa muda yang jauh dari guru. Memang, semua ini adalah hak individu, tetapi dapat memengaruhi guru lain yang ada di jejaring sosial, membanggakan kecantikan, dll.

Baca juga  Ciri Ciri Manusia

Penilaian Harian Tema 6 St 1 Worksheet

Maka tidak salah jika siswa memilih memberontak saat dinasihati, apalagi dinasihati untuk tidak menggunakan smartphone atau hadir di jejaring sosial. Sebab, guru bimbingan konseling telah memberikan contoh yang buruk. Apalagi saat sang guru mengunggah foto saat di kelas, terlihat jelas orang percaya sang guru sibuk berfoto selfie, update status, bbm atau berselancar di jejaring sosial saat pembelajaran sedang berlangsung. Disitulah letak hilangnya wibawa seorang guru sebagai pengajar, baik oleh masyarakat maupun di mata siswa.

Perkembangan teknologi ini juga menyerang generasi penerus khususnya para pelajar. Saat ini hampir semua siswa sudah memiliki handphone, bahkan smartphone. Lambat laun siswa mengalami adiksi yang tentunya sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Mirisnya siswa zaman sekarang takut ketinggalan membawa ponselnya ke sekolah daripada membawa buku. Bahkan sekarang para siswa khususnya perempuan lebih suka memakai lipstik daripada pulpen untuk menulis. Sungguh miris generasi saat ini dipengaruhi oleh teknologi. Jika siswa dapat menggunakan teknologi dengan baik, maka akan mempengaruhi hasil belajar yang lebih baik. Sebaliknya, jika terjerat dalam kecanggihan teknologi akan menimbulkan hal-hal negatif bagi siswa.

Misalnya dalam beberapa kasus akhir-akhir ini siswa berperilaku kasar, sombong, kasar, malas belajar, sulit diatur dan berbagai sikap negatif lainnya. Perilaku negatif tersebut juga dapat muncul karena siswa menganggap guru tidak berwibawa dan guru tidak memperhatikan mereka. Akibatnya, pada akhirnya siswa menganggap guru tidak profesional sehingga tidak pantas dihormati. Akhirnya, siswa lebih berani memberontak jika dinasihati, tidak rendah hati dan kehilangan pendirian moral.

Guru harus disarankan untuk menggunakan media sosial sebagai simbol pendidikan di negeri ini. Jangan terbawa arus sebagai seorang pendidik, sehingga terkadang melampaui batas kemampuan guru. Begitu pula dengan mahasiswa, mereka juga harus bisa menggunakan teknologi khususnya media sosial dengan baik. Jangan biarkan media sosial mengontrol segalanya, masa depan akan direnggut begitu saja dari Anda.

Membentuk Karakter Anak Dari Usia Dini

Semua orang sudah tahu bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar kemajuan suatu bangsa. Maka untuk mencapai hal tersebut diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai lapisan masyarakat. Namun yang lebih penting untuk direnungkan adalah rasa kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Peraturan pemerintah tentang guru, peraturan tunjangan profesi guru, peraturan sertifikasi guru, mengapa menabung di bank lebih aman, mengapa guru harus profesional, mengapa amal ibadah lebih utama dilakukan pada bulan ramadhan, hormat dan patuh kepada guru, hormat dan patuh kepada orang tua dan guru, peraturan tentang sertifikasi guru terbaru, mengapa harus hormat dan patuh kepada orang tua, mengapa menjadi guru, peraturan guru