Yang Bukan Tempat Pengasingan Tuanku Imam Bonjol Adalah

Yang Bukan Tempat Pengasingan Tuanku Imam Bonjol Adalah – Beberapa tahun sebelum kematiannya, Imam Bonjol diasingkan oleh pemerintah kolonial. Dia merasa ditinggalkan ketika dia berusia 70 tahun.

Untuk mengatasi perlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dianggap Wahhabi dipengaruhi Sumatera Barat, ribuan pasukan kolonial dikirim ke sana. Letnan Kolonel Andries Victor Michiels tidak. Veteran Waterloo itu kemudian mengambil alih komando pasukan Belanda di Sumatera Barat dari Letnan Kolonel Cleerens.

Yang Bukan Tempat Pengasingan Tuanku Imam Bonjol Adalah

Setelah Michiels memimpin pasukan, seperti yang ditulis oleh Elizabeth Graves dalam The Origin of the Modern Minangkabau Elite (2007), “[Michiels] sendiri memutuskan untuk melanjutkan perang dan pada Agustus 1837 mencapai puncaknya dengan menduduki benteng terakhir Paderi, yang disebut Bonjol.”

Napak Tilas Pesarean Imam Bonjol Di Bumi Minahasa

Menurut Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951), tentara Belanda memimpin pengepungan Benteng Bonjol. Meski berhasil lolos dari pengepungan, Imam Bonjol akhirnya berhasil ditangkap pada 28 Oktober 1837.

Setelah ditangkap oleh tentara kolonial, Tuanku Imam Bonjol dibawa jauh dari Sumatera Barat. Setelah ditempatkan di Cianjur, ia juga dipindahkan ke Ambon. Sebelum akhirnya dibuang pada tahun 1841 ke sebuah kediaman di Manado. Tepat di tempat bernama Minahasa sekarang. Dia tiba di pertengahan tahun. Bersama anak-anak mereka: Sutan Saidi, Abdul Wahid dan Baginda Tan Labi.

Sebagaimana tertuang dalam naskah Tuanku Imam Bonjol (2004: 157) yang pertama kali ditulis oleh Naali Sutan Chaniago dan diterjemahkan oleh Sjafnir Aboe Nain, sebelum meninggalkan Manado, kepala suku Melayu di Ambon memberikan informasi kepada para pengikut Imam Bonjol bahwa Manado bukanlah negara Islam. dan dia punya banyak babi.. berkeliaran di sana. Pesan kapten: kalau bisa jangan ke Manado. Namun, pemerintah koloniallah yang memiliki kewenangan untuk memenjarakan Imam Bonjol di sana.

Kapal yang ditumpangi Imam Bonjol dalam pengasingan singgah di Ambon dan singgah di Kema, sebelah selatan Minahasa. Setelah itu kembali ke utara lagi yaitu kota Manado yang merupakan pusat Karesidenan Manado. Di Minahasa, Kiai Modjo dan para pengikutnya diasingkan ke tepi Danau Tondano.

Tuanku Imam Bonjol Ulama Dan Pejuang / N. Irma

“Tianku Imam tidak ditempatkan bersama kelompok Kiai Modjo di Tondano dengan alasan terlalu berbahaya menempatkan dua sosok di tempat yang sama,” tulis Roger Kembuan dalam tesisnya, Happiness in Exile: The Socio-Cultural Life of Exiles. Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2015: 136-137). Pemerintah kolonial benar-benar berusaha menahan kedua tokoh perlawanan yang sulit ini di satu tempat.

Baca juga  Istilah Sejen Pikeun Peta Nyaeta

Setelah beberapa lama di Manado, Imam Bonjol ditempatkan di luar kota Manado. Awalnya, Imam Bonjol dan para pengikutnya ditempatkan di Desa Kombi, yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Minahasa, dekat Danau Tondano. Untuk mencapai desa tersebut, seperti dicatat oleh Roger Kembuan (hlm. 125), Imam Bonjol dan anak-anaknya harus menempuh perjalanan tiga hari ke Desa Kombi dari kota Manado. Tidak semua jalan di Sulawesi Utara pada tahun 1840-an dapat dilalui oleh gerobak yang ditarik lembu atau kuda.

Dari pelabuhan kota Manado, tempat penampungan sementara Kampung Kombi lebih jauh ke selatan dari kawasan Kiai Modjo. Sekitar 50 kilometer dari kota Manado. Imam Bonjol kemudian pindah ke desa Lotta, Pinele. Menurut naskah Tuanku, Imam Bonjol (hlm. 161-162) telah membeli tanah untuk menghidupi dirinya sendiri selama penahanannya. Imam Bonjol merasa tidak nyaman saat salat di sekitar Kombi. Lalu Imam Bonjol minta pergi dan akhirnya membeli tanah di Pinele.

Jarak antara Pinele dan kota Manado sekitar 15 km. Sedangkan kuburan Kiai Modjo – yang sekarang disebut Kampung Jawa Tondano – berjarak 30 kilometer dari Manado. Pada masa pengasingan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, daerah Minahasa masih didominasi oleh budaya Alifuru. Sebelum agama Kristen masuk dan mendominasi, agama lokal Alifuru adalah agama utama. Islam yang dibawa oleh Kiai Modjo hanya berkuasa di desa Tondano di Jawa. Bagi pemerintah kolonial, Minahasa menjadi tempat pembuangan para ulama yang menyulitkan pemerintah kolonial.

Tempat Wisata Edukasi Sejarah Museum Tuanku Imam Bonjol

Di sekeliling tempat penahanan Imam Bonjol dan Kiai Modjo adalah para veteran Perang Jawa yang tergabung dalam Tentara Tulungan pimpinan Majja Tololiu Dotulong dan Kapten Benjamin Thomas Sigar. Pemerintah kolonial berusaha bersahabat dengan masyarakat setempat. Sehingga sulit bagi Imam Bonjol dan Kiai Mojo untuk kembali memimpin oposisi di sana.

Untuk masuk Islam Kopral KNIL Imam Bonjol harus menjauhi pengikutnya. Di daerah baru, Imam Bonjol tidak memiliki pengikut seperti di Sumatera Barat. Namun dalam dekade terakhir hidupnya, Imam Bonjol hidup bersama orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya. Kisah sukses Imam Bonjol tentang Islamisasi adalah konversi korporasi KNIL ke Islam.

“Sekitar tahun 1850, seorang kopral tentara Belanda (KNIL) bernama Apolos Minggu ditugaskan ke Lotta,” tulis Sjafnir Abu Nain dalam Tuanku Imam Bonjol: Kajian Sejarah Intelektual Islam di Sumatera Barat 1784-1832 (1988: 83).

Kopral ini dekat dengan orang-orang penting di daerahnya, seperti Pangdam Mayor Parengkuan. Menurut catatan Sjafnir, sang kopral menikahi putri Mayor Parengkuan, Wilhelmina Parengkuan. Kopral Apolos Minggu dekat dengan Imam Bonjol.

Baca juga  Apa Yang Harus Diperhatikan Seseorang Agar Menjadi Apresiator Yang Baik

Kronologi Sejarah Perang Padri: Tokoh, Latar Belakang, & Akhir

Tidak mungkin pemerintah kolonial memberinya tugas mengawasi “keamanan” Imam Bonjol. Sebagai alat penjajahan, Apolos Minggu tidak menangkap Imam Bonjol dan keluarganya. Shafnir Abu Nain berkata, “Hubungannya dengan Tuanku Imam seperti hubungan ayah dan anak.” Jadi, menurut Sjafnir Abu Nain, sampai saat ini keturunan Apolos Minggu mengaku sebagai keluarga Tuanku Imam Bonjol. Apolos Minggu bahkan dianggap sebagai pengawal setia Imam Bonjol dalam pertempuran.

Pengusiran dari Minahasa tentu membuat Imam Bonjol menderita. Ia harus menempuh perjalanan beberapa hari dari Manado ke Kombi. Kemudian kembali ke Lotta. Usia Imam Bonjol saat diasingkan sekitar 70 tahun.

Selain itu, suasana di Sulut yang tidak seperti Sumbar tentu bisa membuat Imam Bonjol semakin merasa terasing. Imam Bonjol tinggal di Lotta selama lebih dari 10 tahun hingga meninggal pada 6 November 1864, tepat 155 tahun yang lalu hari ini. Makamnya tidak jauh dari Jalan Poros Manado-Tomohon.

KH Ali Yafie, mantan Rais Aam PBNU dan Ketua MUI, meninggal Minggu 26 Februari 2023 10:15 WIB Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – meninggal di pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah satu ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam perang yang dikenal dengan Perang Padri 1803–1838.

Makam Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Tuanku Imam Bonjol bernama asli Muhammad Syahab, lahir di Bonjol pada tanggal 1 Januari 1772. Ia merupakan anak dari Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab, adalah seorang ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.

Sebagai peneliti dan tokoh masyarakat setempat, Muhammad Syahab mendapat banyak gelar, yakni Peto Syarif, Malin Basa dan Tuanku Imam.

Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah satu pemimpin Harimau nan Salapan lah yang mengangkatnya sebagai imam (pemimpin) kaum Padri Bonjol. Dia akhirnya dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Salah satu manuskrip asli berada di Kantor Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sumbar, Jalan Diponegoro No.4 Padang, Sumbar. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Kantor Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat.

Imam Bonjol Terbaring Sepi Jauh Dari Kampung Halaman Halaman 1

Tak bisa dipungkiri, Pertempuran Padri menyisakan kenangan heroik dan mencekam di kerajaan Minangkabau. Selama 18 tahun pertama perang (1803–1821), para pejuang biasanya adalah orang Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya.

Baca juga  Wiraga Yaiku

Awalnya, asal muasal perang ini dilatarbelakangi oleh keinginan para pemimpin ulama Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menegakkan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam. Kemudian pimpinan ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan Tuanku Lintau meminta Yang Tuan Pagaruyung dan penduduk pribumi untuk meninggalkan adat-istiadat tertentu yang tidak sesuai dengan Islam (b’ah).

Dalam beberapa diskusi, tidak ada kesepakatan antara Padri (yang mereka sebut pendeta) dan pribumi. Pada masa ini banyak desa di kerajaan Pagaruyung yang kacau balau, hingga akhirnya Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan terjadilah perkelahian di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa mengungsi dari ibu kota kerajaan di Lubukjambi.

Pada tanggal 21 Februari 1821, Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda untuk melawan Kaum Padri dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani di Padang, dengan imbalan Belanda mendapatkan hak untuk mengakses dan menguasai daerah Darek (di dalam Minangkabau).

Pahlawan Nasional Dari Sumatera Dan Penjelasannya

Kesepakatan tersebut dihadiri oleh seluruh keluarga kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar yang saat itu sudah berada di Padang.

Campur tangan Belanda dalam perang ditandai dengan penyerangan Simawang dan Moya semacam itu oleh prajurit Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada awal April 1821 sesuai perintah Resen James du Puy di Padang. Dalam hal ini, kompeni terlibat perang karena “diundang” oleh penduduk asli.

Perlawanan pasukan Padri cukup kuat sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengatasinya. Oleh karena itu, Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak para tokoh Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol saat itu untuk berdamai dengan Perjanjian Masango tahun 1824. Hal ini bisa dimaklumi karena pada saat yang sama Belanda sedang melarikan diri. tanpa uang perang lagi, di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Namun kesepakatan ini dilanggar oleh Belanda sendiri dengan menyerang kampung Pandai Sikek.

Namun sejak awal tahun 1833, perang berubah menjadi perang antara pribumi dan kaum Padri melawan Belanda, kedua belah pihak bekerja sama melawan Belanda, pihak yang bertikai akhirnya bergabung dengan Belanda. Di ujung penyesalan itu muncul kesadaran bahwa mengajak Belanda berkonflik justru membuat rakyat Minangkabau sendiri tidak bahagia.

Menelusuri Paham Keagamaan Tuanku Imam Bonjol Dalam Kitab Naskah Tuanku Imam Bonjol (part 3)

Persatuan antara kaum pribumi dan kaum Padri diawali dengan suatu penataan yang disebut dengan plakat Puncak Pato di Tabek Patah.

Gambar tuanku imam bonjol, identitas tuanku imam bonjol, gambar pahlawan tuanku imam bonjol, foto pahlawan tuanku imam bonjol, biodata tuanku imam bonjol lengkap, perjuangan tuanku imam bonjol, uraian tuanku imam bonjol, foto tuanku imam bonjol, biografi pahlawan tuanku imam bonjol, uraian tentang tuanku imam bonjol, biografi tuanku imam bonjol, asal tuanku imam bonjol