Perang Pattimura Disebabkan Oleh

Perang Pattimura Disebabkan Oleh – .COM – Dikenal juga dengan nama Belanda atau pemerintah Belanda kembali ke kendali Maluku setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Perjanjian London mengawali peralihan kekuasaan melalui kesepakatan antara kedua negara.

Menurut berbagai sumber, setelah kembali berkuasa, Belanda menerapkan berbagai kebijakan politik dan ekonomi untuk memonopoli rempah-rempah sehingga membuat marah masyarakat.

Perang Pattimura Disebabkan Oleh

Selain itu, peraturan mengenai hak pemerintah untuk memusnahkan pala dan cengkeh yang tidak sesuai dengan aturan monopoli juga memperburuk perekonomian.

Pisarana Hatusiri Amalatu: Kerajaan Iha Berinteraksi Dengan Segala Suku Bangsa Di Abad Xvii Dalam Perjuangan Nasional (bag 2 Selesai)

Selain itu, kebijakan lain seperti kerja paksa, pajak pemerintah Belanda, penggantian logam asli dengan uang kertas juga menimbulkan kebingungan.

Pada tanggal 15 Mei 1817, perang dimulai dengan serangan malam terhadap pengiriman surat di pelabuhan Porto.

Baru 2 tahun berkuasa kapal-kapal pemerintah dibakar dan terjadi kerusakan yang sangat besar karena jelas akan mengganggu perdagangan dan berbagai kebutuhan maritim lainnya.

Sejarah Pertempuran Patimura tidak berakhir pada serangan besar itu saja, namun keesokan harinya mereka kembali melancarkan serangan besar-besaran dengan mengepung Fort Dursted.

Kenali Pahlawan Yang Ada Di Lembar Uang Kita

Salah satu benteng utama berhasil direbut dan masyarakat berhasil menguasainya dengan membunuh seorang penduduk bernama van den Bergh dan pejabat penting lainnya.

Semua perlawanan tersebut dipimpin oleh Pattimura atau dikenal dengan Kapitan Patimura, maka dari itu pertempuran besar tersebut dinamakan Perang Pattimura.

Hal inilah yang menyebabkan Belanda memboyong tanaman kina ke Indonesia, karena tidak tumbuh dan menjadi bahan baku obat tersebut. Referensi tambahan diperlukan untuk memastikan kualitas artikel ini Bantu kami menyempurnakan artikel ini dengan menambahkan referensi ke sumber terpercaya. Pernyataan tanpa sumber dapat ditentang dan dihapus. Temukan sumber: “Beban Pendeta” – Berita · Surat Kabar · Buku · Cendekiawan · JSTOR

Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi pada tahun 1803 hingga 1837 di Sumatera Barat, Indonesia, antara ulama dan masyarakat adat. Para ulama adalah umat Islam yang ingin menerapkan Syariat Islam di negara Minangkabau, Sumatera Barat. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok suku adalah para pejabat setempat dan tokoh adat. Mereka meminta bantuan Belanda, yang kemudian turun tangan pada tahun 1821 dan membantu penduduk setempat mengalahkan para pendeta.

Baca juga  Amplitudo Dari Gelombang Air Tersebut Adalah

Soal & Kunci Jawaban Pkn Kelas 8 Smp Halaman 79, Perjuangan Pahlawan Nasional Sebelum Tahun 1908

Perang Ulama diyakini dimulai pada tahun 1803 sebelum intervensi Belanda, dan merupakan konflik yang dimulai di negara Minangkabau ketika para ulama mulai menekan praktik-praktik mereka yang tidak Islami. Namun pada tanggal 21 Februari 1815, setelah salah satu pemimpin agamawan, Tuanku Pasaman Pagarujong, mengambil alih kerajaan pada tahun 1821, para bangsawan Minongkabau membuat perjanjian dengan Belanda di Padong untuk melawan para ulama yang melawan mereka.

Seperti para jihadis sezaman mereka di Kekhalifahan Sokoto di Afrika Barat, kaum Padres adalah penganut Islam puritan yang melakukan ziarah ke Mekah dan kembali lagi.

Termotivasi untuk membawa Alquran dan Syariah ke posisi yang lebih berpengaruh di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan para pengikutnya berupaya membersihkan budaya tradisi dan kepercayaan yang dianggap tidak Islami.

Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kekuasaannya atas sebagian wilayah Hindia Belanda (kemudian Indonesia) setelah direklamasi dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di Pulau Sumatera, dimana beberapa wilayah masih berada di bawah kekuasaan Belanda hingga abad ke-20.

Meninjau Ulang Pemberontakan Komunis 1927 Di Sumatera Barat (bagian I)

Perang Pendeta I 1803–1825 [sunting | edit sumber ] Mulai 1803–1821 [ sunting | edit sumber]

Sepulangnya tiga orang ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, Haji Miskin, Haji Shumanik dan Haji Pyobang, mereka mengutarakan keinginannya untuk menyempurnakan penerapan syariat Islam dalam masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuangku Nan Renseh sangat tertarik dan mendukung keinginan ketiga ulama tersebut. Bersama ulama lainnya, kedelapan tokoh ini dikenal dengan nama Harimau Nan Salapan (Delapan Harimau).

Harimau Nan Salapan kemudian mengajak Tuangku Lintau yang memiliki hubungan dekat dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagarujong Sultan Arifin Muningsia untuk meninggalkan beberapa praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah beberapa kali negosiasi, tidak ada kesepakatan yang dicapai antara Padres dan penduduk setempat. Konflik ini menimbulkan kerusuhan antar beberapa kota di kerajaan Pagarujong, hingga pada tahun 1815, ulama yang dipimpin oleh Tuanku Lintau menyerbu kerajaan Pagarujong dan pecahlah Perang Koto Tanga. Penyerangan ini memaksa Sultan Arifin Muningsi mundur dan meninggalkan ibu kota kerajaan.

Bunga Rampai Pemikiran Insan Pattimura Care For Sustainability

Catatan Thomas Stamford Raffles yang mengunjungi Pagarujong pada tahun 1818 menyebutkan bahwa ia hanya menemukan sisa-sisa keraton Pagarujong yang terbakar.

Pada tanggal 21 Februari 1821, karena tekanan dan kehadiran Yang Dipartuan Pagarujong di pengasingan, keponakannya, Sultan Alam Bagagarsi, bersama beberapa pemimpin pribumi meminta bantuan Belanda. Namun banyak masyarakat adat lainnya yang merasa Bagagarcia tidak berhak mewakili kerajaan Pagarujong.

Baca juga  Akhlak Terpuji Dalam Islam Disebut Juga Dengan

Dengan permohonan bantuan tersebut, Belanda menyerahkan kerajaan Pagaruing kepada pemerintah Hindia Belanda dan kemudian melantik Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai bupati Tanah Datar.

Sebagai bagian dari perjanjian bantuan Belanda, penduduk asli menyerahkan wilayah Simawang dan Hard Air pada bulan April 1821 kepada pasukan Kapten Goffin dan Kapten Diehnem di bawah komando Resen James du Puy di Padang.

Pangdam Pattimura Ingatkan Pentingnya Literasi Digital Bagi Prajurit

Kemudian pada tanggal 8 Desember 1821, pasukan tambahan di bawah komando Letkol Ruff tiba untuk memperkuat posisi di wilayah yang dikuasai.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda di bawah komando Letkol Ruff berhasil mengusir para ulama dari Pagarujong. Belanda kemudian membangun benteng pertahanan di Batusangkar yang diberi nama Fort van der Kapelen, sedangkan Padres mengumpulkan kekuatan dan mempertahankan diri di Lintau.

Pada tanggal 10 Juni 1822, Padres menghadang pergerakan pasukan Rafe di Tanjung Alam, namun pasukan Belanda dapat melanjutkan gerak majunya ke Luhak Agama. Kapten Goffinet terluka parah dalam Pertempuran Basso pada 14 Agustus 1822 dan kemudian meninggal pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa mundur ke Batusankar karena masih mendapat tekanan dari serangan ulama yang dipimpin oleh Tuanku Nan. . Ran.

Setelah menerima pasukan tambahan pada tanggal 13 April 1823, Letnan. Kolonel Raff kembali berusaha menyerang Lintau, namun Padres melawan dengan gigih, sehingga pada tanggal 16 April 1823, Belanda terpaksa mundur ke Batusankar. Pada tahun 1824, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsia Lt. Kolonel Ruff kembali ke Pagaruing, namun pada tahun 1825, raja Minangkabau terakhir meninggal dunia dan kemudian dimakamkan di Pagaruing.

Konflik Perjuangan Kelas Dalam Perlawanan Pattimura

Sedangkan Raff meninggal mendadak di Padang pada 17 April 1824 yang didahului demam tinggi.

Pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Lemlin berhasil menguasai beberapa wilayah termasuk Koto Tuo dan Ampang Gadang di Luhak Agam. Mereka kemudian merebut Biaro dan Kapau, namun pada bulan Desember 1824, Lemlin meninggal karena luka-luka di Padang.

Perlawanan yang diberikan Padres cukup alot sehingga sangat sulit bagi Belanda untuk mengatasinya. Oleh karena itu, Belanda dengan kehadirannya di Padang mengajak para pemuka agama yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825.

Hal ini dapat dimaklumi karena pada saat yang sama pemerintah Hindia Belanda juga sedang kehabisan dana untuk menghadapi perang-perang lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Baca juga  Menerima Pendapat Orang Lain Adalah Salah Satu Cara Mengaplikasikan Nilai

Soal Perlawanan Essay 5

Dalam gencatan senjata, Tuangku Imam Banyal berusaha merebut kembali kekuasaan dan merangkul kembali kaum pribumi. Sehingga akhirnya di Bukit Marapalam Kabupaten Tanah Datar dikenal dengan “Sumpah Sati Bukit Marapalam” yang merupakan kesepakatan Basandi Siarak setempat, Siarak Basandi Kitabullah yang artinya adat istiadat Minangkabau berlandaskan Islam, sedangkan Islam berlandaskan Al-Quran. .

Tuangku Imam Banjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin Perang Padri ketika sebelumnya Tuangku Nan Rencheh mengangkatnya menjadi Imam di Banjol.

Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa ketidakadilan yang dilakukan para Padres terhadap saudara-saudaranya yang masih ia ingat. Namun di sisi lain, fanatisme tersebut melahirkan sikap kesatria dan cinta tanah air.

Perang Pendeta Kedua 1831–1838 [sunting | sunting sumber] Kejatuhan Luhak Nan Tig 1831–1833 [ sunting | edit sumber]

Nilai Nilai Kejuangan

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuasaan Belanda di Pulau Jawa, pemerintah Hindia Belanda kembali berupaya menundukkan kaum Padres. Hal ini sebagian besar didasari oleh keinginan kuat untuk menguasai budidaya kopi yang saat ini sudah meluas hingga ke pedalaman Minangkabau (wilayah Darek). Hingga abad ke-19, kopi merupakan salah satu produk utama Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih sebagai perang dagang, sesuai dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minongkabau dalam perdagangan di pedalaman dan di pantai barat atau timur. Sedangkan di satu sisi Belanda ingin mengambil alih atau memonopoli.

Apalagi untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang Pandai Sikek Nagri yang merupakan salah satu daerah yang mampu menghasilkan mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil menaklukkan dan menjadikan Luhak Tanah Datar berada di bawah kendali Belanda. Namun Tuangku Lintau terus melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Pulua.

Sementara itu, Letjen. Ketika Kolonel Elout melakukan berbagai penggerebekan di Padra pada tahun 1831–1832, ia mendapat tambahan bala bantuan dari pasukan Sentot Provirodirzo, seorang panglima tentara Pangeran Deponegor yang membelot dan bertugas di pemerintahan Hindia Belanda setelah Perang Jawa. Namun Letkol Elout kemudian berdalih kehadiran Centote yang ditempatkan di Lintau justru akan menimbulkan permasalahan baru. Beberapa dokumen resmi Belanda membuktikan bahwa Centote bersalah karena berkonspirasi dengan Padres untuk mengirim Centote dan pasukannya kembali ke Jawa. Di Jawa, Sentot juga gagal menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Sentot diasingkan dan dipenjarakan di Bengkula, sedangkan pasukannya dibubarkan dan kemudian direkrut menjadi tentara.

Kanker hati disebabkan oleh, sejarah perang pattimura singkat, gonore disebabkan oleh, penyakit disentri disebabkan oleh, perang pattimura, sakit kepala disebabkan oleh, perang pattimura 1817, kencing nanah disebabkan oleh, ketombe disebabkan oleh, cerita perang pattimura, disentri disebabkan oleh, sejarah perang pattimura