Pengertian Sejarah Menurut Sartono Kartodirdjo

Pengertian Sejarah Menurut Sartono Kartodirdjo – Sejarawan dapat menafsirkan cerita dengan cara yang berbeda. Menurut Sartono Cartodirjo, pengertian sejarah dapat dibedakan menjadi objektif dan subjektif. Lihat artikel berikut untuk ikhtisar.

Prof. dr. Aloysius Sartono Kartodirjo adalah seorang sejarawan dan pendidik Indonesia yang hebat. Semasa hidupnya menjadi pengajar di UGM dan diangkat sebagai guru besar di UGM. Sartono Kartodirjo adalah pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang Indonesia.

Pengertian Sejarah Menurut Sartono Kartodirdjo

Ceritanya sangat luas sehingga memiliki banyak perspektif dari sudut pandang pengamatnya. Tidak mengherankan jika sejarawan menafsirkan konsep sejarah dengan cara yang berbeda. Menurut Sartono Cartodirjo, makna sejarah pun dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna objektif dan subjektif.

Anti Boring, Inilah Menariknya Baca Sejarah Di Kbm

Cerita tersebut berasal dari bahasa Arab syajaratun, yang berarti pohon kehidupan. Sejarah memiliki banyak aspek, unsur dan makna yang berbeda dengan sejarawan, termasuk pengertian sejarah menurut Sartono Kartodirjo yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Penjelasan tentang masalah sejarah dapat dilihat dalam Sejarah: Untuk Kelas 1 SMA yang disusun oleh M. Habib Mustopo (2005:4). Cerita dari buku tersebut dapat dipahami dengan dua cara, yaitu;

Namun, tidak semua peristiwa yang terjadi di masa lampau digolongkan sebagai peristiwa sejarah. Peristiwa yang bisa disebut sejarah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

Berdasarkan sejarah dalam arti objektif dan subjektif, menurut Sartono Cartodirjo, makna sejarah menggambarkan pengalaman kolektif masa lalu dengan cara yang berbeda-beda. Setiap cerita dapat dilihat sebagai realitas atau tahapan pengalaman masa lalu.(DK) Perkembangan penulisan sejarah Indonesia tidak lepas dari sumber sejarah bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa ini. Dulu, sebagian besar sejarah Indonesia ditulis oleh Belanda.

Kemukakan Pengertian Sejarah Menurut Sartono Kartodirdjo​

Tulisan Belanda tentang cerita ini tidak mencerminkan realitas dari sudut pandang Indonesia. Oleh karena itu bangsa Indonesia berusaha untuk menulis sendiri sejarah Indonesianya, dan salah satu upaya tersebut pertama kali dilakukan oleh Hoesen Jayadininrat yang menulis tentang Banten.

Menulis artikel yang menekankan kepentingan Belanda ketika Belanda mengambil alih Indonesia. Prasasti-prasasti ini memperlakukan Belanda sebagai pelaku sejarah atau subyek sejarah. Pada saat yang sama, bangsa Indonesia menjadi objek sejarah.

Model penulisan ini jauh dari kenyataan. Karena itu, pemikiran dan aspirasi bangsa Indonesia menjadi lebih realistis untuk menulis sejarah. Penulisan sejarah ini diawali dengan perubahan dan perubahan posisi para penulis sejarah, jika dahulu Belanda adalah subjek sejarah, kini bangsa Indonesia menjadi subjek sejarah.

Baca juga  Macam-macam Informasi Yang Disampaikan Melalui Radio Atau Televisi Mencangkup

Penulisan sejarah Indonesia modern dimulai ketika Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan lokakarya sejarah nasional pertama di Yogyakarta pada 14-18 Desember 1957. Lokakarya tersebut membahas tentang upaya menulis sejarah nasional dengan gaya Indonesia-sentris, dengan harapan penulisan sejarah nasional menjadi sarana pemersatu bangsa. Dalam penulisan sejarah nasional ini, ada pemikiran bahwa itu harus dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri atau oleh bangsa pribumi. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mencapai tingkat akurasi dan akuntabilitas.

Benarkah Membaca Buku Pelajaran Sejarah Itu Membosankan?

Penulisan sejarah Indonesia dilakukan secara intensif dan serius pada tahun 1970 dalam Lokakarya Sejarah Nasional Kedua. Tahun ini, pemerintah membentuk tim penulis yang dipimpin Sartono Kartodirjo, Marwati Joened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Buku-bukunya terdiri dari 6 jilid tentang Prasejarah, Sejarah Kuno, Kerajaan Islam, 1800-1900, 1900-1942, dan 1942-1965.

Dengan mengintegrasikan metode penelitian baru, rangkuman sejarah Indonesia dapat mengungkap banyak persoalan dan objek baru, serta mengungkap dimensi perubahan sosial dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, penulisan sejarah Indonesia sebagian besar dilakukan oleh bangsa Indonesia, namun banyak tulisan sejarah yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejarah. Dalam hal ini Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasikan tulisan sejarah Indonesia menjadi 3 jenis.

, sejarah ideologi, yaitu novel yang diawali dengan pencarian makna subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lalu dipelajari bukan untuk mengetahui masa lalu, tetapi untuk simbol-simbol yang dengannya masa kini dapat diketahui. Contoh penulisan sejarah jenis ini antara lain Mohammad Yamin tentang sejarah Indonesia Kuno, Ruslan Abdul Ghani tentang sejarah Pergerakan Nasional, dan Nugroho Notosusanto tentang sejarah militer Indonesia.

Sejarah: Pengertian Para Ahli, Sumber & Periodisasinya

, yaitu sejarah pewarisan. Ciri utama tulisannya adalah kisah-kisah heroik perjuangan kemerdekaan dan pelajaran perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat dipetik dari karya-karya tersebut adalah bagaimana para patriot Indonesia berjuang melawan hambatan fisik dan psikis untuk meraih kemerdekaan. Contoh teks semacam itu adalah buku Abdul Haris Nasution (Purnjen) tentang Perang Kemerdekaan.

Yaitu sejarah akademik. Jenis tulisan ini tidak ideologis atau filosofis, tetapi gambaran jelas tentang masa lalu, yang didasarkan pada etika akademik. Jenis tulisan ini tidak hanya dilakukan secara naratif, tetapi juga struktural. Menggunakan sosiologi, antropologi, politik dan pendekatan ilmu sosial lainnya. Contoh teks jenis ini adalah karya Sartono Kartodirjo tentang Pemberontakan Tani Banten 1888, Soemsaid Moertono tentang negara-bangsa Indonesia, Deliar Noer (1973) tentang gerakan modernis Islam di Indonesia, dan tesis Alfian tentang Muhammadiyah kolonial.

Baca juga  Berikut Ini Yang Termasuk Jenis Gambar Ilustrasi Kecuali

Sartono Kartodirdjo lahir pada tanggal 15 Februari 1921 di Wonogiri. Ia adalah seorang profesor sejarah di Universitas Gadja Mada dan anggota Dewan Riset Nasional. Pada tahun 1956, ia lulus dari Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, melanjutkan studinya, dan menjadi profesor di Universitas Yale di Amerika Serikat. Harry J. Benda. Pada tahun 1966, ia menerima gelar doktor dari Universitas Amsterdam di bawah pengawasan seorang profesor. Wertheim, peneliti di Departemen Sosiologi Asia Tenggara dan Sejarah Modern di Universitas Amsterdam, dengan disertasinya

Dalam analisisnya tentang Pemberontakan Tani Banten 1888, Sartono mengangkat pertanyaan pokok penelitiannya: Dari strata manakah para peserta gerakan maju dan bergerak? Bagaimana status sosial ekonomi mereka secara umum?

Sejarah I/ Semester I Tahun Pelajaran 2007/ 2008 Sejarah I

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sartono mengkaji secara struktural Pemberontakan Tani Banten. Sartono menggunakan alat dan teori ilmu sosial. Dengan demikian, model penulisan sejarah ini mencerminkan penulisan sejarah ilmu pengetahuan. Buku Sartono ini bisa dikatakan sebagai model penulisan sejarah ilmu pengetahuan pertama di Indonesia.

Sartono menggunakan pendekatan dari aliran Annales untuk menganalisis peristiwa Pemberontakan Tani Banten. Ciri khas aliran ini adalah para sejarawan lebih memperhatikan kronologi dan analisis peristiwa sejarah dalam tulisannya, khususnya peristiwa politik. Sejarawan membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial karena aliran ini berpandangan bahwa pendekatan sejarah ekonomi, sosial budaya dan politik harus diintegrasikan ke dalam “Sejarah Total”.

Teori ilmu sosial yang digunakan Sartono untuk menjelaskan Pemberontakan Tani Banten adalah sosiologi Neil J. Smelser. Teori Smelser digunakan

. Dalam hal ini, pemberontakan diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser, perilaku kolektif adalah perilaku yang ditujukan untuk mengubah lingkungan sosial berdasarkan keyakinan tertentu bahwa situasinya dapat diubah.

Sederet Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli

Sartono menggunakan determinan teori kolektif Smelser untuk menggali penyebab Pemberontakan Tani Banten yaitu (1)

. Sartono menilai penyebab Pemberontakan Tani Banten merupakan faktor penentu sebab akibat yang saling berkaitan.

Untuk menemukan faktor-faktor penentu pemberontakan, Sartono terlebih dahulu meneliti kondisi sosial ekonomi Banten pada awal abad ke-19. Meskipun Banten dikelilingi oleh pantai, namun faktor pertanian merupakan aset ekonomi yang penting.

Seperti halnya di negara agraris, faktor tanah merupakan faktor penting dalam kesejahteraan penduduknya. Pada tahun 1808, pada masa Daendl, hak Sultan untuk memiliki tanah dihapuskan, sedangkan di bawah Raffles, pajak warisan dikumpulkan dalam bentuk sewa tanah. Mereka yang mewarisi tanah akan menerima kompensasi. Politik seperti itu tampaknya tidak cocok dengan banyak kerabat dan pejabat sultan yang dikorupsi oleh pamongraja. Kedudukan petani, atau rakyat jelata, pada masa kekaisaran adalah banyak yang mencurahkan tenaganya untuk menggarap tanah yang diwarisinya, menjadi pembantu rumah tangga dengan status pembantu.

Baca juga  Berikut Ini Bukan Merupakan Gaya Dalam Renang Adalah Renang Gaya

Bukti Dan Fakta Sejarah, Pengertian Dan Contohnya » Maglearning.id

Sejak dihapuskannya Kesultanan Banten pada tahun 1810, hak dan kewajiban petani tidak berubah. Bahkan para petani ini dipaksa bekerja oleh kaum bangsawan. Situasi ini menambah penderitaan petani. Sebagian besar perubahan sosial-ekonomi berasal dari sistem ekonomi Barat yang kemudian diterapkan pada pemerintah.

Transisi dari model administrasi tradisional ke modern telah menciptakan banyak sumber konflik. Gambaran kondisi sosial ekonomi ini merupakan upaya untuk menggali faktor-faktor penentu penyebab Sartono.

Model administrasi yang dikembangkan pemerintah kolonial mengubah sebagian staf atau anggota keluarga Sultan menjadi birokrat. Pemerintah kolonial awalnya merekrut pegawai negeri dari keluarga bangsawan, dengan harapan dapat memperlunak hubungan dengan rakyat.

Namun cara ini tidak efektif karena tingkat korupsi yang tinggi. Selanjutnya, pemerintah kolonial mengubah kebijakannya untuk merekrut profesional sejati sebagai individu. Perubahan ini merupakan konflik antara aristokrasi lama melawan pemerintah kolonial.

Pemberontakan Petani Banten (cet 1)

Selain itu, kontrol politik Belanda yang meningkat menciptakan perasaan terpinggirkan dan frustrasi di kalangan elit agama terhadap bangsawan yang terpinggirkan. Hal ini ditunjukkan oleh Kiai Sartono sebagai Haji Tubagus Ismail. Ia adalah seorang bangsawan Banten yang memimpin pemberontakan bersama para pemuka agama. Uraian Sartono tentang kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elit politik dan agama melawan penjajah merupakan penjelasan dari determinan ketegangan struktural.

Masyarakat Banten dikenal sebagai umat Islam. Selama pemberontakan, gerakan pesantren dan tarek memainkan peran strategis dalam mobilisasi dan penyaluran massa. Analisis Sartono terhadap gerakan pesantren dan tarek merupakan upaya untuk mencari determinan kausal.

Sebagai penentu penyebab pemberontakan. Sartono melihat kemunduran tatanan adat dan gejala yang menyertainya, seperti pergolakan sosial yang mendorong peningkatan aktivitas keagamaan. Tahap perkembangan yang dicapai pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa gerakan keagamaan berusaha untuk membenarkan aspirasi politik.

Di satu sisi terjadi marginalisasi politik, dan di sisi lain terjadi penegasan kembali tradisi. Masyarakat elit agama yang dicabut haknya di lapangan

Tugas Mandiri Sejarah

Sartono kartodirdjo, buku sejarah karya sartono kartodirdjo, buku karya sartono kartodirdjo, pengertian sejarah menurut bahasa jerman, pengertian sejarah menurut bahasa arab, biografi sartono kartodirdjo, pengertian sejarah menurut aristoteles, sartono kartodirdjo pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah, pengertian sejarah menurut para ahli luar negeri, pengertian sejarah menurut ibnu khaldun, sartono kartodirdjo buku, pemberontakan petani banten 1888 karya sartono kartodirdjo