Pengaruh Penjajahan Belanda Bagi Bangsa Indonesia Dari Aspek Budaya Adalah

Pengaruh Penjajahan Belanda Bagi Bangsa Indonesia Dari Aspek Budaya Adalah – Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Saat itu negara kita dikenal dengan nama Dutch East Indies atau Hindia Belanda. Selama masa penjajahan Belanda yang panjang, tentu banyak dampak negatif dan positif bagi Indonesia. Salah satu dampak penjajahan Belanda terhadap masyarakat Indonesia dari segi pendidikan adalah pembangunan sekolah dan akses pendidikan.

Namun pada masa penjajahan, masyarakat Indonesia tidak dapat memperoleh pendidikan secara bebas seperti sekarang. Hanya sedikit orang yang bisa belajar pada saat itu. Pada masa penjajahan Belanda terdapat banyak jenjang dan sistem pendidikan. Simak penjelasannya di bawah ini.

Pengaruh Penjajahan Belanda Bagi Bangsa Indonesia Dari Aspek Budaya Adalah

Dikutip dari Kamus Lengkap Bahasa Indonesia oleh Bakir dan Suryanto (2006), pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku individu atau kelompok individu dalam upaya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan formal diperkenalkan ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh Belanda.

Pdf) Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang

Europeesche Lagere School atau biasa disingkat ELS adalah sekolah dasar yang didirikan pada masa penjajahan Belanda untuk anak-anak Belanda. Awalnya, ELS hanya berasal dari Belanda, tetapi pada tahun 1903 atau setelah kebijakan moral, orang Indonesia diizinkan bergabung dengan ELS. Lama pendidikan di ELS adalah tujuh tahun dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

Sekolah Hollandsch-Inlandsche atau HIS adalah sekolah dasar untuk penutur asli. Sekolah ini didirikan pada tahun 1914. HIS diperuntukkan bagi para bangsawan dan tokoh terkemuka. Lama pendidikan di HIS juga kurang lebih tujuh tahun dan sama halnya dengan ELS, bahasa pengajaran yang digunakan di HIS adalah bahasa Belanda.

Meer Uitgebreid Lager Onderwisj atau MULO bisa dibandingkan dengan sekolah menengah saat ini. Bahasa pengajaran di MULO adalah bahasa Belanda. Masa studi di MULO dibagi menjadi dua bagian, yaitu tiga tahun untuk mahasiswa pascasarjana ELS dan empat tahun untuk mahasiswa pascasarjana non-ELS.

AMS adalah jenjang pendidikan setingkat SMA pada masa penjajahan Belanda. Durasi studi di AMS adalah tiga tahun.

Asal Usul Kata Pribumi Dan Mentalitas Inlander

Ini adalah beberapa sekolah yang ada pada masa penjajahan Belanda. Dampak penjajahan Belanda terhadap masyarakat Indonesia dari segi pendidikan merupakan pengaruh yang positif. Sebagai generasi sekarang yang terbebas dari kolonialisme, Anda harus belajar untuk benar-benar menghargai perjuangan para pahlawan masa lalu. Semoga artikel ini bermanfaat. (FAR) Banyak penelitian menyoroti kolonialisme Belanda melalui kebijakan-kebijakan suram tanam paksa (Kulturstelsel/tanaman paksa) terutama oleh buruh Jawa dataran rendah. Dalam jilid pertamanya, The Power of Prediction: Prince Diponegoro and the Old Order in Java, 1785-1855 (2011), Peter Carey memaparkan bagaimana Raja William I dari Belanda memutuskan mengangkat Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Akibat Perang Jawa (Java War), Belanda mulai menerapkan kebijakan tanam paksa pada tahun 1830 sebagai pemulihan ekonomi atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830. Sistem pertanian paksa (sistem budaya) ini jelas terbukti bermanfaat bagi Belanda dan menandai dimulainya kekuasaan Belanda sebagai penguasa tunggal dan dimulainya tatanan baru di Jawa.

Baca juga  Cara Wirausahawan Menganalisis Peluang Usaha Berdasarkan Jenis Produk Jasa Ialah

Seorang pejabat dan sejarawan kolonial Inggris, J.S. Furnival menulis sebuah buku berjudul Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India (1948), menyajikan serangkaian sejarah rinci rakyat Burma dan Indonesia (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan kolonial. Rezim pada saat itu. Furnival menjelaskan bahwa setelah pemerintah kolonial Belanda mencaplok Batavia pada tahun 1619, sebelum menjadi penguasa tunggal, mereka mencoba menghubungi kepala otoritas pemerintahan ‘adat’ (sebagai negara) di Jawa sebagai bagian dari strategi Belanda untuk tidak ikut campur secara langsung. langsung dengan penduduk setempat di bawah kepemimpinannya. (Furnivall, 1948: 21). Dalam bukunya, Furnival juga menyebut pemimpin wilayah sebagai kepala bawahan yang otonom (kepala boneka ‘tradisional’ yang otonom) karena ia dapat dikendalikan sebagai boneka oleh Belanda. Atas dasar itu, pemimpin kerajaan tidak hanya mulai memusatkan perhatian pada penanaman padi sawah, Belanda juga mulai memusatkan perhatian pada perkebunan untuk keperluan ekspor, terutama kopi dan gula (1948: 21). Ini juga menandai dimulainya liberalisasi ekonomi dengan rakyat Indonesia (yang berada di Jawa) memasuki dan berpartisipasi dalam pasar bebas (perdagangan bebas) di bawah insentif kolonial.

Memasuki masa ekspansi pada masa sistem tanam paksa, dapat dilihat tulisan menarik dari Eric Wolff dalam bukunya Europe and the People Without History (2010) tentang Kulturstelsel dimana pemerintah Belanda ingin mengembangkan produksi gula (tebu). Dalam skala yang lebih besar, petani harus membayar pajak kepada pemerintah atas produk pertanian mereka (gula) dan bukan secara tunai. Hal itu dilakukan untuk memperoleh dan membudidayakan hasil pertanian tropika (tanaman tropis) yang nyata-nyata diusahakan komoditas gula dan kopi, dan kedua hasil pertanian tersebut akan menjadi barang ekspor utama Hindia Belanda saat itu (Wolf, 2010: 334 . ). . Cara pemerintah Belanda dapat memperoleh komoditi ekspor tersebut adalah dengan membagi seperlima dari tanah pertanian untuk produksi tahunan tebu (gula) dan menanam padi dengan sistem irigasi pada tanah yang sama untuk kebutuhan hidup (kebutuhan). hidup) petani. Ini tentu tugas yang sangat berat karena mereka harus tetap menanam padi untuk kebutuhan hidup, sementara mereka harus mencurahkan tenaga mereka dalam beberapa hari ke depan untuk mengawasi perkebunan tahunan yang dipaksakan oleh Belanda atau sistem pertanian paksa (serigala). . , 2010: 334).

Baca juga  Kepala Pemerintahan Laos

Untuk kelebihan tenaga kerja, petani Jawa memiliki keinginan batin untuk memperbanyak tenaga kerja, menambah tenaga kerja, atau dengan kata lain memanfaatkan potensi kelahiran demografis dengan melahirkan anak sebagai tenaga kerja cadangan. Hal ini dijelaskan dalam Clifford Geertz dalam Agricultural Evolution (2016) yang merinci masalah historis-ekologis masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, dari masa kolonial hingga awal pertanian paksa dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Pada tahun 1830, ketika sistem pertanian paksa dimulai, masih terdapat sekitar 7 juta penduduk Jawa, dan pada tahun 1900, penduduk Jawa telah berkembang menjadi 28,7 juta, menghasilkan pertumbuhan tahunan sekitar 2% selama 70 tahun. Namun Geertz juga menulis dalam bukunya bahwa sejauh mana sistem pertanian paksa mempengaruhi pertumbuhan penduduk Jawa juga sulit untuk dipecahkan, namun masih ada pola yang dapat ditempatkan dalam catatan sejarah masyarakat Jawa. kolonial Belanda,

Perkembangan Jalur Transportasi Laut Indonesia

“Namun, tidak diragukan lagi bahwa sistem pertanian, ada subteks bahwa kekayaan orang Belanda bertambah, sedangkan orang Jawa bertambah jumlahnya, mulai hidup dalam realitas sosial” (Geertz, 2016: 82).

Dari sini dapat dilihat bagaimana pertanian paksa menjadi kebijakan luar negeri atau tuntutan ekonomi asing yang memaksa masyarakat Jawa dalam untuk meningkatkan produksi anak karena dapat memberikan banyak masukan yang berguna untuk mengurangi kerja paksa di bawah pemerintahan Belanda. Namun, masih banyak yang diinginkan untuk masalah ekologis yang dihadapi masyarakat Jawa pasca-kolonial. Pertambahan jumlah penduduk atau fenomena “ledakan penduduk” seolah-olah telah meninggalkan jejak masalah ekologis dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, sehingga penduduk Jawa yang besar akan terserap di sawah-sawah yang sangat sempit, terutama pada budidaya tebu. . daerah dengan sistem irigasi yang lebih maju (Geertz, 2016: 91).

Tak heran jika kita sering mendengar pepatah bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula gizinya. Apakah pernyataan itu dianggap sebagai kenangan yang menggema bahkan sampai hari ini karena sejarah hubungan antara orang Jawa dan pemerintah Hindia Belanda melalui penerapan sistem pertanian paksa? Atau kosmologi Jawa yang terlalu tinggi untuk dilihat anak kecil. Namun yang kita tahu, sepenggal warisan sejarah ini akhirnya membentuk tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat, menimbulkan persoalan ekonomi dan lingkungan, khususnya di Jawa masa kini. Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk di Jawa jelas tidak jauh dari proses sejarah panjang yang berlangsung pada masa kolonialisme. Masalah ekologis akibat kepadatan penduduk juga merupakan masalah modern yang perlu diperhatikan tidak hanya melalui peraturan pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), sensus penduduk, migrasi, dll, tetapi juga aspek budaya masyarakat. Karena pengaruh proses sejarah yang panjang. .Beberapa hari lalu, BPPM Balairung menjamu Geoffrey M. dari Yayasan Komite Kredit Kehormatan Belanda (YKUKB). Saya menerima email dari Pondag. Ia menyayangkan artikel Balairung BPPM berjudul “Revolusi Indonesia Mengenang Prajurit Belanda” saat mengulas buku tersebut.

Baca juga  Nilai Semangat Muhammad Yamin

. Ia menilai buku tersebut sebagai buku propaganda yang berpotensi menyesatkan pembacanya menjadi versi sejarah yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, Jeffrey M. Atas permintaan dan izin Pondag, kami menerbitkan artikel oleh Sandeu Hira, yang juga mengulas buku yang sama tetapi telah mengeditnya sebelumnya.

Rpp 2 Dampak Penjajahan Bangsa Eropa Bagi Bangsa Indonesia

Diskusi tentang bagaimana menanggapi kolonialisme masa lalu semakin memanas terkait dengan kontroversi seputar Kereta Emas dan pertanyaan apakah Belanda harus membayar ganti rugi kepada korban perang kolonial. Dalam diskusi kita bertemu dengan seseorang yang sudah kita kenal. Seseorang yang berperan penting dalam pendekatan Eurosentris dan kolonial terhadap sejarah Suriname dan Antillen, yaitu Prof. dr. Gert Oostindie sebagai direktur KITLV (Language, State and Royal Institute of Anthropology). Kata “negara” harus diganti dengan “kolonial” dan harus menunjukkan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan institusi ini. Untuk ulasan tentang karya Oostindie di kawasan Karibia, lihat di sini (hanya dalam bahasa Belanda).

Ia kini fokus menulis sejarah perang kemerdekaan rakyat Indonesia dari perspektif kolonial. Buku terbarunya berjudul

Buku tersebut diterbitkan oleh Prometheus di Belanda (2015) dan Generation Torch di Indonesia (2016). Versi online dapat dilihat di sini.

Dalam tradisi ilmiah positivisme, Ostindi menganggap dirinya sebagai ilmuwan (kulit putih) yang secara objektif menerapkan kesimpulan ilmiah berdasarkan penelitian berbasis fakta. Di sisi lain, orang Indonesia sangat bias dalam tulisan-tulisan sejarahnya dan menampilkan gambaran realitas yang bias dan terdistorsi. kita

Bem Feb Unud

Penjajahan bangsa eropa di indonesia, pengaruh globalisasi bagi bangsa indonesia, gambar penjajahan belanda di indonesia, peninggalan penjajahan belanda di indonesia, sebutan lain bagi bangsa belanda, zaman penjajahan belanda di indonesia, video penjajahan belanda ke indonesia, foto penjajahan belanda di indonesia, artikel penjajahan belanda di indonesia, masa penjajahan belanda di indonesia, pengaruh budaya asing bagi indonesia, penjajahan bangsa belanda