Mengapa Gerak Ombak Berdebur Termasuk Gerak Alam

Mengapa Gerak Ombak Berdebur Termasuk Gerak Alam – Desa Kaliwungu yang berada di tengah malam, terjun ke udara dingin, dan kesunyian tiba-tiba berubah menjadi keributan. Di sebelah utara, api terlihat membakar dua rumah. Di timur terdengar teriakan orang-orang yang ketakutan. Kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang tak terhitung jumlahnya. Suara titir kentongan terdengar beberapa kali kemudian hening. Di arah lain terdengar teriakan orang berlarian bercampur dengan teriakan anak-anak, perempuan dan orang tua. “Lari! Lari! Pasukan Suro Gedug telah menyerang! Kabur dari desa secepat mungkin! Lari…!” Kuku kuda berlari. Dua bilah pedang panjang melintas. Dua warga berteriak jatuh ke tanah. Darah menyembur dari kedua tubuh. Yang pertama mati seketika dengan leher hampir putus. Temannya yang berbaring di sebelahnya tampak menggeliat sejenak sambil memegangi dadanya yang besar dan robek, lalu dia berdiri diam dan tidak bergerak, tanda hidupnya hancur. Lurah Suta Lumpang, kepala desa Kaliwungu, yang sedang terbaring demam, baru saja bangun dari tempat tidurnya ketika dua orang penjaga desa datang untuk menceritakan apa yang terjadi. “Kerumunan jahat itu…” kata Lurah Suta Lumpang sambil bersandar di dinding. “Aku sudah lama mendengar perbuatan biadab mereka. Ternyata mereka akhirnya datang untuk menjarah desa kita…!” Kepala desa yang hidup sebatang kara tanpa anak sejak kematian istrinya 20 tahun lalu terhuyung-huyung mengeluarkan keris yang ada di lemarinya, mengambil keris yang masih ada sarungnya, mencium keris yang masih ada sarungnya. sebelum melangkah keluar. “Ki Lurah! Apa yang akan kalian lakukan?!” tanya salah satu penjaga. Lurah Suta Lumpang tidak menoleh. “Kalian berdua membantu warga mengungsi. Selamatkan anak-anak, wanita dan orang tua. Saya menghadapi kerumunan itu. perampok barbar!” “Jangan lakukan itu, Ki Lurah! Mereka memiliki lebih dari sepuluh orang! Mereka membunuh tiga penjaga! Dan kamu juga sakit!” Lurah Suta Lumpang berjalan ke pintu, mengabaikan penjaga, dan berkata, “Saya merasa lebih baik mati di tangan bandit daripada mati karena sakit di tempat tidur!” badannya panas dan Lemah, namun kepala desa ini tiba-tiba merasakan kekuatan dalam dirinya yang memberinya semangat untuk menjalankan tujuannya.Kedua pengawal itu tidak bisa berbuat apa-apa.Mereka berlari menuju barisan warga yang berlarian keluar desa saat beberapa rumah lain melihat Suro Para bandit Gedug membakar mereka. Di sebuah tikungan jalan, Lurah Suta Lumpang berpapasan dengan dua penunggang kuda berpakaian selendang hitam dan melilit mereka. Mereka sepertinya membawa bungkusan besar barang curian. “Ini dua preman perampok…” katanya geram. Lurah Suta Lumpang. Ia segera menyelinap ke belakang pohon bambu di sepanjang jalan. Saat penunggang pertama lewat, Lurah Suta Lumpang langsung menebas sepuluh keris berukir. Penunggang kuda itu berteriak keras saat keris itu merobeknya. perutnya.berbelok ke kiri j a jatuh ke tanah. Kuda tunggangannya meraung keras dan berlari kencang menembus malam. Penunggang lainnya tersentak kaget dan menghentikan kudanya. Tangan kanannya segera menghunus pedangnya, lalu dia melompat dari kuda sambil berteriak. “Nah, siapa yang berani membela anak buah Suro Gedug…” Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, sebilah belati melintas di depan kepalanya. Anggota komplotan Suro Gedug ini mengangkat tangan kanannya dan menangkisnya dengan pedang. “Trang!! Kedua senjata itu beradu di kegelapan malam. Lurah Suta Lumpang merasakan tangannya kesemutan. Gagang keris hampir lepas dari tangannya. Lurah Suta Lumpang dengan cepat mengatur kakinya agar tidak tersandung. Baru saja Kemudian, seseorang berpakaian hitam di depannya melontarkan makian dan menodongkan senjata ke perut Lurah Suta Lumpang, lelaki tua yang kepanasan itu melompat ke kiri, berhasil menghindari tusukan lawannya, lalu dengan cepat membacok perampok itu. leher anggota geng seperti kilat. Namun, lawannya lebih cepat. Ketika tikaman meleset, pedangnya diputar dan langsung ditebas ke perut Lurah Suta Lumpang. Kepala desa berteriak. Perutnya sobek besar. Ususnya berbusa. Itu Perampok tampaknya tak mau berhenti sampai di situ. Pedangnya kembali mengenai dada kanan Suta Lumpang. Terdengar teriakan lagi. Luka besar di tubuh sebelah kanan. Dua tulang rusuknya hampir putus. Kerisnya hai dibawa ke bumi. Dia segera jatuh berlumuran darah. Berpikir bahwa dia sudah mati, para perampok melompat kembali ke atas kuda mereka dan meninggalkan tempat itu, mengabaikan teman mereka yang terbaring sekarat di dekat rumpun bambu. Lurah Suta Lumpang mengumpulkan sisa tenaganya dan mencoba bertahan dalam kesulitan. Dia tetap tertegun sejenak saat dia memegang tongkat bambu. Kemudian darah terus mengalir dari lukanya, dan kepala desa tertatih-tatih. Dia tidak pergi jauh sebelum tubuhnya, kehabisan darah dan energi, jatuh ke tanah. Pada saat yang sama, seorang warga yang lari di tempat, yang mengenali kepala desanya, datang membantu. Namun Lurah Suta Lumpang yang menyadari hidupnya tidak akan lama, langsung bimbang. “Saya tidak peduli. Anda segera berangkat ke Mataram untuk menemui Gusti Senopat. Mendatangkan warga yang mampu membelinya. Beritahu… beritahu… semua…warga Mataram. Ini… waktunya bagi sekelompok pencuri untuk… menghancurkan.” “Tapi bagaimanapun juga, aku harus menyelamatkanmu dulu, kepala desa!” “Jangan bertindak bodoh! Segera ke Mataram. Gusti menuju Senopat! Cepat pergi…!” Setelah berkata demikian, kepala Lurah Suta Lumpang tertunduk. Menyadari bahwa dia tidak bisa lagi membantu, warga segera meninggalkan tempat itu dan berlari secepat mungkin ke arah selatan, menyusuri kebun kelapa. Dan di ujung taman ada sebuah tikungan Tubuhnya menghilang ke dalam kegelapan malam.

Baca juga  Bahasa Indonesia Diakui Sebagai Bahasa Persatuan Dalam Naskah

Seorang pemuda berusia dua puluhan berjalan mondar-mandir. Pakaian dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Dia menggigil kedinginan dan berjalan melewati jalanan yang basah dan berlumpur. Sepanjang jalan, perutnya menjerit bahwa dia sudah kenyang. Dia belum makan apapun sejak kemarin pagi. Dia berharap menemukan dalam waktu singkat sebuah kota atau desa di mana dia bisa membeli makanan untuk mengisi perutnya. Matahari hampir tepat di atas kepala. Rana Wulung masih berjalan menuju bukit kecil di sebelah timur. Pemuda ini tahu bahwa ada sungai di balik bukit. Dan di sepanjang aliran sungai di kaki bukit terbentang desa Kaliwungu yang dikenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari bertani dan beternak. Sekitar satu hari perjalanan dari desa ke selatan menuju Mataram, kota yang menjadi tujuan Rana Wulung. “Tidak mungkin saya datang ke Mataram sebelum malam tiba…” kata Rana Wulung dalam hati. “Kurasa lebih baik bermalam dan istirahat di Kaliwung hari ini. Besok pagi kita akan berangkat ke Mataram…” Namun ia urungkan karena sesampainya di puncak bukit ia melihat pemandangan yang mengejutkan di bawah. Desa Kaliwungu terlihat tak lebih dari tumpukan puing. Rumah-rumah penduduk hancur, bekas rumah yang terbakar, berserakan di tanah. Api masih terlihat di beberapa tempat. Asap hitam mengepul ke udara. Rana Wulung mengguncang apa yang ada di bawahnya. Namun, berbekal Keri Kelabang Sewu buatan Empu Wanabaya, semua itu ditepis. Rana Wulung berjalan pelan tapi pasti menuruni bukit menuju desa yang ditandai dengan kobaran api. Begitu sampai di desa yang terbakar, apa yang dilihatnya di kejauhan di atas bukit kini menjadi semakin jelas dan mengerikan. Beberapa mayat tergeletak di pinggir jalan, di halaman, di tepi sungai. Tubuh mereka penuh bekas tusukan senjata tajam. Setelah itu, tangisan orang yang terbaring terluka terdengar dari beberapa tempat. Mata Rana Wulung melihat pergerakan di dalam rumah yang masih berdiri itu. Hanya beberapa bagian yang rusak seperti pukulan palu besar. Lelaki tua yang bersembunyi di dinding kayu rumahnya itu masih berdiri dan menggendong gadis itu di pelukannya. Rana Wulung perlahan mendekati tempat persembunyian lelaki tua itu. “Allah! Jangan bunuh! Jangan bunuh aku……! Jangan bunuh cucuku!” pria tua itu berteriak berulang kali ketika dia mencoba melarikan diri dari tempat persembunyiannya. “Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Ceritakan dengan cepat apa yang terjadi……..!” teriak Rana Wulung. Kakek tampak terpesona dan kembali berteriak histeris ketakutan. “Pak tua, saya baru saja tiba di desa ini. Siapa yang melakukan perampokan dan pembunuhan?!” Rana Wulung angkat bicara. Orang tua itu tidak menjawab. Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk itu. Pria tua itu berkata dengan suara bergetar, tubuhnya bergetar. “Geng perampok jahat Gedug melakukannya. Orang-orang jahat itu merampok, menjarah, membunuh, menculik gadis-gadis dan membakar desa-desa.” Rana Wulung menghela nafas. Ia kembali memalingkan pandangannya ke kampung Kaliwungu yang porak-poranda. Dua rumah terbakar di dekat pintu depan, dan tiang-tiang miring hampir roboh. Ia melihat dua sosok mayat bergelantungan. Salah satunya melihat mayat yang terbakar sebagian dijilat. Di dekat kobaran api, muncullah sosok ketiga tak jauh dari tempat itu sesosok tubuh tergantung di dahan pohon sawo, membeku dari ujung kepala sampai ujung kaki, wajah pria yang digantung itu berlumuran darah yang mulai membeku akibat luka besar di lehernya. Tiba-tiba terlintas di benak Rana Wulung, kalau memang Keris Kelabang Sewu adalah keris sakti seperti kata mendiang Empu Wanabaya.

Baca juga  Uraikan Tentang Kondisi Sosial Negara Malaysia

Mengapa Gerak Ombak Berdebur Termasuk Gerak Alam

Mengapa sawah termasuk ekosistem buatan, mengapa pluto bukan termasuk planet, otot termasuk alat gerak, mengapa indonesia termasuk negara berkembang, mengapa volume termasuk besaran, mengapa matahari termasuk bintang, tulang termasuk alat gerak, mengapa rangka disebut alat gerak pasif, mengapa volume termasuk besaran turunan, mengapa darah termasuk jaringan pengikat, mengapa gula termasuk senyawa, mengapa hati termasuk organ ekskresi