Dalam Penyusunan Interpretasi Harus Bersifat – ) adalah proses menafsirkan atau menginterpretasikan data dan peristiwa sejarah. Interpretasi terdiri dari dua jenis, yaitu analisis (penguraian) dan sintesis (perakitan).[1] Interpretasi umumnya dilakukan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak jelas. Imajinasi yang kuat sangat dibutuhkan dalam fase interpretasi. Kemampuan membayangkan peristiwa masa lalu juga akan memberi keluasan dan warna pada historiografi. Tidak heran jika saat ini banyak kajian sejarah dan ilmu sosial lainnya yang mengangkat isu-isu yang ditafsir ulang, ditafsir atau ditafsirkan ulang. Penafsiran ulang ini dalam bahasa yang lebih dingin disebut “penafsiran ulang”.
Karena melalui proses penafsiran, terbuka lebar kemungkinan terciptanya tulisan-tulisan sejarah dengan versi yang berbeda-beda. Hal ini umumnya tidak terlepas dari latar belakang penafsir agama, politik, ideologi, budaya dan fakta. Wajar jika kisah G30S 1965 misalnya, memiliki banyak versi, yakni Soekarno, Amerika Serikat, Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan PKI. Bahkan sumber sejarah yang sama dapat menghasilkan catatan yang berbeda karena interpretasi yang berbeda dari masing-masing sejarawan. Contoh dalam konteks ini adalah adanya beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Dalam Penyusunan Interpretasi Harus Bersifat
Saat menafsirkan data atau peristiwa, sejarawan mungkin tidak memiliki imajinasi liar yang tak terbatas dari para penulis. Sejarah bukanlah sastra. Penafsiran sejarawan dibatasi oleh data dan fakta yang ada. Bahkan beberapa sejarawan mendukungnya
Julak (jurnal Pembelajaran Dan Pendidik) Volume 1 Nomor 2 November 2021 By Julakjulak
(walaupun tidak sepenuhnya benar karena sumber sejarah tidak hanya berupa dokumen). Oleh karena itu, penulisan sejarah yang baik adalah penulisan yang dilakukan seobjektif mungkin berdasarkan sumber, data, dan fakta yang ada (walaupun subjektivitas harus ada, bahkan dalam derajat yang sangat kecil).
Mungkin salah satu sejarah yang paling sulit untuk ditulis secara objektif adalah sejarah agama. Kisah ini mungkin merupakan kisah yang paling sulit untuk diceritakan karena beberapa topik kajiannya sulit dibuktikan secara empiris. Ada gejala metafisika (baca:
) di luar kemampuan manusia, yang sulit dibuktikan secara empiris, meskipun dalam beberapa hal tidak mengingkari kebenarannya (kebenaran relatif). Karena melibatkan kepercayaan, sejarawan sering terjebak dalam subjektivitas tingkat tinggi. Keyakinan yang mendalam terhadap agama mereka seringkali menolak setiap kejadian yang tidak sesuai dengan keinginan/keyakinan mereka. Di sini kita bisa benar-benar memilah dan membedakan “sejarah agama” dan “sejarah agama”.
Hal lain yang harus diperhatikan oleh sejarawan ketika menafsirkan data atau peristiwa adalah generalisasi dan penyederhanaan.
Cara Penyusunan Kak
Itu adalah proses menarik kesimpulan umum dari fakta yang ada. Sejarawan harus sangat berhati-hati dalam membuat pernyataan (kesimpulan dan interpretasi) karena ciri khas sejarah adalah mencari “keunikan” dari setiap peristiwa masa lampau (tidak seperti ilmu-ilmu sosial lain yang mencari keumuman).
) adalah proses penyederhanaan kesimpulan interpretatif. Ini akan sangat disayangkan ketika fakta sebenarnya sangat kompleks. Artinya, sejarawan telah melakukannya
Inferensi interpretatif yang mengacu pada faktor atau fenomena sejarah yang sebenarnya lebih kompleks, tetapi kemudian direduksi atau disederhanakan seolah-olah hanya melibatkan satu atau dua faktor saja. Generalisasi dan penyederhanaan yang tidak tepat dapat mengarah pada “pedoman palsu” (mitos sejarah).
). Penjelasan sejarah adalah penjelasan atau penjelasan yang lebih rinci terkait dengan hubungan (terutama sebab akibat) peristiwa masa lalu atau peristiwa yang mungkin terjadi atau mempengaruhi peristiwa lain.[2] Menjelaskan sejarah tidak hanya menggambarkan peristiwa sejarah secara deskriptif tetapi analitis, terutama dalam menjawab pertanyaan
Landung Kapita Selekta Penyusunan Skala Psikologi
(Bagaimana). Di sini penguasaan konsep dan teori sangat dibutuhkan sebagai “pisau analisis” untuk menggali secara mendalam hubungan atau hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Fungsi eksplanasi sejarah adalah memberikan narasi sejarah yang tidak setengah-setengah (pernyataan yang setengah hati dan ingin tahu) tetapi lengkap, jelas, mendalam, dan terdokumentasi dengan baik.
(Menulis). Dilihat dari kata-kata editor ini, historiografi berarti “penulisan sejarah”. Namun dalam pandangan dan pengertian yang lebih luas, historiografi dimaknai tidak hanya sebagai tulisan sejarah (karya) tetapi juga “proses penulisan sejarah (karya) itu sendiri”. Gootschalk mendefinisikan historiografi sebagai usaha untuk mentranskripsikan data sejarah menjadi cerita dan menyajikannya dalam bentuk buku atau artikel sejarah.[3] Dalam konteks ini, historiografi dimaknai sebagai kesatuan antara proses dan hasil akhir (penulisan sejarah).
Historiografi adalah tahap terakhir dari penyajian catatan sejarah secara lengkap. Historiografi merupakan tahapan keempat dalam perjalanan metodologi sejarah setelah melewati tahapan heuristik, kritik dan interpretasi. Dengan demikian, historiografi adalah suatu bentuk penyajian makan malam kepada khalayak yang telah melalui tahapan pemilihan menu, pemilihan bahan makanan, pemilihan bumbu, dan tahap imajinasi dan penyajian rasa. Dari penyajian hidangan ini, Anda bisa melihat betapa cermat, teliti, sistematis pola atau seni penyajiannya, keserasian antara jenis hidangan yang disajikan dan tentunya rasa dari hidangan itu sendiri. Dianalogikan dengan karya, historiografi adalah produk jadi yang siap dipasarkan atau dipresentasikan kepada publik.
Ada beberapa jenis historiografi di dunia akademis. Di sisi nasionalisme, terdapat historiografi yang berfokus pada Indonesia. Jenis historiografi ini biasanya bertentangan dengan historiografi kolonial-sentris (Nerlado-sentris). Perbedaan kedua historiografi ini terletak pada penempatan mata pelajaran sejarah. Seperti yang bisa dilihat dari kotak pembahasan, ada historiografi Annales (
Infografis Visualisasi Informasi Terpopuler Dari Superpixel
). Sejarawan bisa disebut dokter, guru kimia, matematika, insinyur, pedagang, guru geografi atau siapapun yang menulis sejarah. Label sejarah ditempelkan pada produk yang dihasilkan, yaitu catatan sejarah (histografi). Asal usul produk manufaktur adalah tulisan-tulisan sejarah (cerita atau cerita tentang peristiwa masa lalu), sehingga bisa disebut sejarah. Namun perlu dicatat bahwa ada dua macam sejarawan yang kita kenal selama ini. Mereka adalah “sejarawan (akademik) profesional” dan “sejarawan non-profesional”.
Sejarawan profesional (sejarawan sejati) umumnya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki pelatihan formal dalam sejarah (terutama yang murni). Mereka menerima prinsip-prinsip metodologi sejarah yang ketat. Sedangkan sejarawan nonprofesional (sejarawan amatir) adalah setiap orang yang tidak memiliki pendidikan formal di bidang sejarah. Namun, ada sejarawan yang tidak memiliki pelatihan formal dalam sejarah, tetapi karyanya sama baiknya atau lebih baik daripada karya sejarawan dengan pelatihan formal dalam sejarah. Nyatanya, tidak sedikit sejarawan dengan pendidikan sejarah formal yang justru mandul, dan kualitas karyanya lebih buruk dari sejarawan yang dicap sebagai non-profesional. Artinya, sejarawan dengan pelatihan sejarah formal bukanlah profesional. Dapat disimpulkan bahwa generalisasi para profesional dan non-sejarawan ini bersifat umum (kebanyakan) dan tidak mutlak semuanya.
Secara umum, terdapat perbedaan antara sejarawan profesional dan nonprofesional. Perbedaan ini ditunjukkan setidaknya oleh dua hal, yakni proses dan hasil penulisan. Sejarawan non-profesional umumnya tidak atau kurang ketat dalam kepatuhan mereka terhadap prinsip atau langkah-langkah metodologi penelitian sejarah. Mereka juga kurang mampu memasarkan penggunaan sumber primer dan sekunder. Di sisi lain, mereka juga kerap terjebak dalam subjektivitas yang tinggi. Penulisannya juga cenderung kurang detail, kurang sistematis, dan bercampur dengan “dongeng sejarah”.
Menurut Sarton, proses penulisan sejarah memerlukan pendekatan, metode dan gaya bahasa, serta isi tulisan harus dapat dipertanggungjawabkan.[4] Pendekatan mengacu pada sudut pandang yang ingin digunakan saat menganalisis dan menulis cerita. Metode penulisan cerita dapat dilakukan paling tidak dengan dua cara. Pertama,
Pdf) Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab
. Sejarawan dapat menentukan topik atau subtopik untuk menulis karya besar, seperti buku, disertasi, tesis, atau disertasi. Setelah tema atau subtema ditentukan, giliran menceritakan peristiwa masa lampau secara kronologis (berdasarkan waktu) pada masing-masing tema atau subtema tersebut. Sebentar,
. Sejarawan dapat langsung menulis secara kronologis tanpa mempertimbangkan topik tertentu (khusus). Cara penulisan kronologisnya lebih cair, yang penting disusun sesuai timeline kejadian secara berurutan dari awal hingga akhir. Meminjam istilah dari Kuntowijoyo (2013:i), cerita ini
Beberapa hal atau aspek utama yang perlu diperhatikan dalam penulisan sejarah (historiografi) antara lain: (1) kronologi, (2) kesesuaian antarkalimat, (3) pilihan bahasa, diksi dan retorika, (4) waktu penulisan (tahun dan abad). ), (5) data sebagai muatan, (6) janji yang harus dijawab, (7) identifikasi dan kejujuran sumber dan kutipan, (8) pembedaan sejarah dan kajian nilai sejarah. Kedelapan aspek tersebut setidaknya menjadi indikator penting untuk melihat apakah historiografi disajikan secara optimal atau tidak.
Mengapa penyusunan apbn harus mendapat persetujuan dpr, kaca yang dimanfaatkan pada alat alat masak harus bersifat, iklan harus bersifat, iklan yang menawarkan barang dan jasa kepada masyarakat harus bersifat, kalimat yang digunakan dalam bahasa iklan harus bersifat, kalimat iklan harus bersifat